Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta — Di tengah pencapaian reli surplus neraca perdagangan Indonesia selama 34 bulan berturut-turut, kalangan ekonom memperingatkan kinerja impor  bahan baku industri berisiko makin lesu sepanjang tahun ini. 

Data kinerja impor pada Februari 2023, yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini, mengejutkan pasar lantaran terkontraksi 4,32% secara tahunan atau year on year (yoy), dipicu oleh pembelian kelompok minyak dan gas (migas) yang anjlok 17,08% yoy.

Di sisi lain, impor lini nonmigas juga terkontraksi 1,63% yoy, merefleksikan momentum persiapan Ramadan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kinerja impor, khususnya pada golongan barang konsumsi. 

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memprediksi ketidakpastian masih akan menyelimuti kinerja impor tahun ini. 

Indonesia, menurutnya, sebenarnya masih memiliki peluang untuk membukukan kinerja impor yang lebih baik tahun ini di tengnah permintaan domestik yang cenderung terus menguat, menyusul pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada akhir 2022 dan keputusan untuk melanjutkan Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Namun, kami juga mengantisipasi risiko penurunan pertumbuhan impor di tengah harga minyak yang lebih rendah dan ekspor yang lebih rendah. Sebagian bahan baku industri untuk memproduksi barang ekspor diperoleh dari impor,” paparnya dalam riset Bank Mandiri yang dilansir, Rabu (15/3/2023).

Secara bulanan, kinerja impor pada Februari juga terus turun sebesar 13.68% month to month (mtm) di tengah penurunan impor minyak mentah (-45.39% mtm) dan impor minyak sulingan (-8.20% mtm) . 

Penurunan impor juga didorong oleh anjloknya impor plastik dan barang dari plastik (HS 39) (-15.21% mtm). “Kami melihat bahwa harga bahan baku industri plastik berbahan dasar minyak seperti polyethylene dan polypropylene mengikuti pergerakan harga minyak,” kata Faisal.

Hanya impor bahan mentah yang mencatat kontraksi tahunan sebesar -8,10% yoy. Hal ini terkait langsung dengan penurunan impor migas seperti yang telah disebutkan sebelumnya. 

Impor barang konsumsi dan barang modal masing-masing meningkat sebesar 13,42% yoy dan 6,10% yoy, membaik dari 1,09% yoy dan 5,66% yoy pada Januari. “Yang pertama didorong oleh persiapan perayaan Ramadan, dan yang kedua menunjukkan aktivitas investasi tetap tangguh,” lanjutnya.

Dari sisi ekspor, Faisal memproyeksikan pertumbuhan ekspor cenderung tahun ini juga terus melemah karena penurunan harga komoditas, didorong oleh lesunya permintaan global di tengah tingginya inflasi dan berlanjutnya kenaikan suku bunga kebijakan.

“Kami masih melihat bahwa surplus perdagangan cenderung menyusut ke depan, tetapi bisa bertahan lebih lama dari yang diantisipasi karena penurunan harga komoditas akan lebih bertahap, berkat pembukaan kembali ekonomi China dan kondisi kawasan Euro yang lebih baik dari perkiraan,” paparnya.

Sekadar catatan, pertumbuhan ekspor tahunan telah melambat di tengah penurunan harga komoditas dan berkurangnya efek dasar rendah dari larangan ekspor batubara menjadi 4,51% yoy pada Februari akibat harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang turun -37,60% yoy dan batu bara -5,60% yoy.

Penurunan ini juga disebabkan oleh memudarnya efek dasar rendah dari larangan ekspor batu bara tahun lalu karena pemerintah mencabut larangan tersebut pada awal Februari 2022. 

Akibat penurunan impor yang mencolok, surplus perdagangan Indonesia pada Februari naik menjadi US$ 5,48 miliar dari US$ 3,88 miliar pada Januari. Surplus terjadi selama 34 bulan berturut-turut dan terbesar sejak November 2022.

(wdh/ggq)

No more pages