Uninhabited maritime vehicles (UMV) atau pesawat nirawak (drone) murah yang digunakan oleh Ukraina untuk menargetkan Armada Laut Hitam Rusia telah mempopulerkan persenjataan yang dikendalikan dari jarak jauh. Keunggulan drone kemudian memicu kompetisi lain, yaitu perlombaan untuk melumpuhkan senjata tersebut dengan mengacaukan sinyal.
Negara-negara lain memperhatikan dengan seksama. Menurut perkiraan industri, pasar drone global diperkirakan akan mencapai US$26 miliar pada 2030. Angka tersebut tumbuh sepuluh kali lipat dari tahun sebelum invasi Rusia.
Ukraina mengatakan pada Jumat (23/2) bahwa mereka menembak jatuh puluhan drone tipe Shaded yang diluncurkan dari Rusia.
Drone memberi kedua pihak pandangan via udara dari medan perang. Pesawat tanpa awak tersebut memungkinkan mereka memantau pergerakan musuh secara real time.
2. Keberpihakan
Perang di Ukraina telah membentuk dunia yang lebih bipolar. Perang ini membuat Swedia dan Finlandia bergabung dengan NATO, setelah sekian lama menolak bergabung dengan aliansi tersebut karena takut memusuhi Rusia.
Keputusan tersebut menunjukkan bagaimana dunia yang tiga dekade lalu memuji akhir dari sejarah, kini kembali masuk ke perpecahan lama antara Barat dan Timur. Ukraina juga memperbarui upayanya untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa, setelah prospeknya selama bertahun-tahun berada di ujung tanduk.
Tidak semua negara bergegas untuk berpihak. Turki, anggota NATO yang menempatkan dirinya (bukan tanpa alasan) sebagai penengah di antara faksi-faksi yang bertikai, tidak ikut menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Begitu juga dengan Israel atau yang disebut sebagai negara-negara Selatan.
3. Sanksi Bukan Peluru Perak
Negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-7 telah memberlakukan serangkaian sanksi terhadap Rusia selama 2 tahun terakhir. Mereka mmutus pasar energi Rusia, barang-barang kebutuhan pokok, dan teknologi. G-7 juga memblokir sebagian besar akses Moskow ke sistem keuangan internasional, melumpuhkan cadangan bank sentral, juga membekukan ratusan aset individu dan entitas.
Namun, jauh dari "konsekuensi besar dan parah" yang diperkirakan pada awal perang, sanksi-sanksi tersebut tidak menghalangi perang Rusia atau menyebabkan kerugian ekonomi. Hal ini terjadi karena kemampuan Rusia untuk menghindari sanksi, atau mengurangi dampaknya.
Seiring berjalannya waktu, akan semakin sulit bagi Rusia untuk mempertahankan upaya-upaya ini. Rusia harus mengalihkan sumber daya yang signifikan untuk pengeluaran militer dan telah ditutup dari pasar ekspor utama. Biaya impornya telah meningkat.
Dengan latar belakang itu, negara-negara G-7 berfokus pada upaya Rusia untuk mengindari sanksi tertentu. Seperti sanksi terhadap teknologi dan elektronik yang digunakan dalam persenjataan yang diperolehnya dari negara ketiga.
4. Kemandirian Rantai Pasokan yang Terpenting
Perang telah memeprlihatkan pentingnya rantai pasokan domestik. Di saat Ukraina membutuhkan lebih banyak pasokan militer, biasanya mereka harus bernegosiasi dengan sekutu. Sementara saat Rusia membutuhkannya, mereka bisa meningkatkan produksi di industri yang mereka kendalikan, dengan membayar menggunakan rubel.
Meskipun Rusia menghadapi sejumlah kekurangan, dan kualitasnya produknya cenderung di bawah lawan-lawannya, Rusia lebih cepat beralih ke siaga perang. Rusia juga menerapkan rute pasokan lewat negara ketiga untuk mendapatkan komponen yang dilarang.
Sebaliknya, negara-negara Eropa lambat dalam meningkatkan produksi militer dan menindak penghindaran sanksi. Sering kali, mereka terjebak dalam perdebatan prosedural. Kemampuan mereka untuk memproduksi dan mendapatkan artileri tertinggal di belakang Rusia. Hal ini membuat Kyiv harus menjatah amunisi saat perang ini memasuki tahun ketiga. Ketika Rusia menunjukkan keunggulannya di medan perang, sekutu-sekutu Ukraina tidak bisa mendapatkan persenjataan yang cukup.
Kyiv pun mulai meningkatkan produksinya sendiri agar tak terlalu bergantung pada sekutu. Namun, transisi ini membutuhkan waktu.
5. Perang Bisa Terjadi Lagi
Dalam pidatonya tak lama setelah invasi dimulai, Kanselir Jerman Olaf Scholz menyebut momen tersebut sebagai Zeitenwende: titik balik yang sangat penting dalam sejarah. Istilah ini digunakan untuk melambangkan bagaimana konflik tersebut menghancurkan optimisme, di mana Eropa sebelumnya telah menjadi tempat yang nyaman. Mereka terlalu lama percaya bahwa perang sebesar ini tidak akan pernah terjadi di tanah mereka.
Dapat dikatakan bahwa pemahaman ini membutuhkan waktu terlalu lama untuk diterjemahkan ke dalam tindakan. Baru sekarang, dua tahun setelah perang, Jerman memenuhi target belanja militer NATO sebesar 2% dari PDB. Tidak lebih dari setengah dari 30 anggota NATO yang tersisa akan mencapainya tahun ini, meskipun itu adalah lonjakan besar dari sebelum pertempuran dimulai.
Donald Trump telah membuat Eropa khawatir dengan mengancam akan mendorong Rusia untuk menginvasi negara-negara yang tidak membelanjakan cukup dana pertahanan. Tetapi mereka juga memiliki motivasi sendiri untuk mengindahkan tekanan ini.
Karena ketahuan tidak siap, mereka mencoba untuk bergerak lebih dulu. Negara-negara dari Denmark hingga Jerman berupaya untuk meningkatkan pertahanan mereka, dengan berbagai tingkat tekad. Mereka memperkirakan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, Putin mungkin akan siap untuk menyerang negara NATO.
"Konflik ini mungkin akan merevolusi peperangan lebih dari yang lain sejak Perang Dunia II," kata Ruslan Pukhov, kepala Pusat Analisis Strategi dan Teknologi, sebuah wadah pemikir pertahanan di Moskow.
(bbn)