Vale Indonesia didirikan di Tanah Air pada Juli 1968. Bermula dari nama PT International Nickel Indonesia (INCO), yang juga telah memulai kegiatan eksplorasi di RI sejak 1920-an.
Pendirian perusahaan berdasarkan Akta No. 49 tanggal 25 Juli 1968 yang dibuat di Notaris Eliza Pondaag, notaris publik di Jakarta.
Anggaran Dasar Perseroan disetujui Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No. J.A.5/59/18 tanggal 26 Juli 1968 dan diumumkan dalam Tambahan No. 93 Berita Negara Republik Indonesia No. 62 tanggal 2 Agustus 1968.
Berdirinya perusahaan ini juga merespons adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang diterbitkan oleh Presiden Soeharto.
Mulai Kontrak Karya
Pada 1968, INCO menandatangi perjanjian kontrak karya (KK) dengan pemerintah. KK tersebut yang menjadi lisensi sekaligus amanat dari Pemerintah Indonesia bagi perusahaan, untuk melakukan eksplorasi, penambangan, dan pengolahan bijih nikel untuk masa konsesi tambang selama 30 tahun setelahnya.
Perusahaan ini bermula beroperasi di Blok Sorowako, Desa Sorowako, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Setelah memulai eksplorasi dan penelitian sejak 1920, pada 1970, perusahaan berhasil menemukan sampel bijih nikel pertama sebanyak 50 ton.
Sampel itu kemudian dikirim ke fasilitas penelitiannya yang berlokasi di Ontario, Kanada, yang menunjukkan bahwa bahan itu dapat diolah lebih lanjut.
Pada 1973, INCO resmi membangun fasilitas pengolahan nikel di Sorowako, dengan teknologi pirometalurgi atau rotary kiln electric furnace (RKEF) yang rampung pada pada 1977, dan diresmikan oleh Soeharto. Kemudian, pada 1978, INCO resmi memulai produksi secara komersial dari hasil tambangnya.
Selama periode itu, perseroan menambang nikel jenis laterit yang akan diolah menjadi produk akhir nikel dalam matte (Ni-Matte). Perusahaan mencatat, rerata volume produksinya mencapai75.000 metrik ton setiap tahunnya.
Bisnis Hijau
Dalam operasinya, Vale Indonesia salah satu fasilitas penunjang kelistrikan, yakni membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Larona di Luwu Timur dengan kapasitas 165 MegaWatt (MW). PLTA ini memanfaatkan aliran Sungai Larona yang airnya dipasok dari tiga danau, yakni Matano, Mahalona, dan Towuti.
Kemudian pada 1995, perusahaan kembali membangun PLTA keduanya di Balambano, yang mulai beroperasi pada 4 tahun setelahnya atau 1999. PLTA berbasis energi baru dan terbarukan ini memiliki kapasitas 110 MW.
Tak berhenti di situ, Vale juga kembali membangun PLTA ketiganya, yakni Karebbe pada 2007, dan mulai beroperasi pada 2011 dengan kapasitas 90 MW. Secara total, kapasitas listrik yang dihasilkan melalui 3 PLTA itu mencapai 365 MW, atau menyumbang 94% dari total konsumsi energi pabrik pengolahannya di Sulawesi itu.
Melantai di Bursa
Setelah lebih dari 20 tahun beroperasi, Vale Indonesia memutuskan untuk melakukan divestasi perdananya, yakni dengan melepas 20% sahamnya ke publik melalui Bursa Efek Indonesia pada Mei 1990.
Pemerintah pun mengakui bahwa saham INCO yang tercatat di bursa domestik merupakan syarat untuk pemenuhan divestasi kepada Pemerintah Indonesia sebesar 20%.
Saat itu, perseroan melepas 49.681.694 saham darri total 198.726.774 lembar saham dengan harga penawaran pedana saham atau initial public offering (IPO) di Rp9.800, dengan persentase 25%.
Pembaruan Kontak
Setelah KK yang diteken pada 1968 silam habis pada 1996, Vale Indonesia kembali melakukan penandatangan perubahan seklaigus perpanjangan KK untuk periode 30 tahun selanjutnya, yang akan habis pada 2025.
Pada periode itu, Vale juga membangun instalasi perangkat bag house system pada tanur listrik 3 pada 2005, yang ditujukan untuk menekan emisi dari debu yang dihasillkan dari tanur itu.
Setahun setelahnya, Vale juga memulai rehabilitasi lahan pasca tambang dengan melakukan pembibitan tanaman di Sorowako, yang menghasilkan sekitar 700.000 bibit per tahun.
Lalu, pada Oktober 2014, Vale Indonesia kembali melakukan renegosiasi untuk amandenen Kontrak Karya (KK) dengan pemerintah, sejalan dengan adanya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Amandemen KK ini juga mengakui bahwa saham perusahaan di bursa atau pasar modal yang di Bursa Efek pada 1990 silam adalah pemenuhan kewajiban divestasi.
Kemudian, dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 77/2014 Pasal 97 yang menjadi perubahan ketiga atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dari amandemen KK itu, Vale memiliki luas konsesi lahan sebesar 118.017 hektare (ha), meliputi Sulawesi Selatan (70.566 ha), Sulawesi Tengah (22.699 ha) dan Sulawesi Tenggara (24.752 ha). Luasan wilayah konsesi itu surut dan terpangkas cukup dalam dari konsesi 1968 dengan total 6,6 juta ha.
Divestasi Kedua
Pada 2020, yang juga sebagai tindak lanjut dari amandemen UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), kembali dilaksanakan pengalihan kepemilikan 20% saham Vale Canada Ltd dan Sumitomo Metal Mining Co Ltd (SMM) kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), yang saat ini menjadi holding BUMN tambang MIND ID.
Sesuai dengan UU Minerba itu, porsi minimum kepemilikan saham negara di perusahaan minerba asing adalah sebesar 51%, sebagai syarat untuk perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Maka dari itu, Vale kemudian kembali mendivestasikan kepemilikan sahamnya sebesar 11% kepada pemerintah Indonesia melalui MIND ID, jika ingin memperpanjang IUPK terakhirnya yang bakal habis pada 2025.
Porsi divestasi itu pun bertambah menjadi 14%, sejalan dengan keinginan pemerintah untuk mengendalikan operasional bisnis perusahaan, yang sebelumny divestasi masih didominasi oleh Vale Canada limited (VCL) sebesar 43,79%.
Jika proses divestasi itu berjalan lancar, maka porsi saham MIND ID naik menjadi 34% dari sebelumnya hanya 20%. Sementara itu, kepemilikan saham VCL surut menjadi 33,9% dari sebelumnya 43,79%, dan Sumitomo Metal Mining Co Ltd (SMM) makin menciut menjadi 11,5% dari sebelumnya 15,03%.
Meski demikian, Komposisi tersebut jauh dari perkiraan awal bahwa jatah VCL sebagai induk INCO akan berkurang 14% dari 43,79% menjadi hanya 29,79%, sehingga menempatkan MIND ID sebagai pemegang saham terbesar dan paling dominan di Vale Indonesia.
Menurut klaim VBM, dalam pernyataan resminya, kepemilikan VCL sebesar 33,9% terhadap saham INCO tersebut sudah “seimbang” dan “akan mendukung stabilitas dan pertumbuhan kelanjutan operasi PT Vale di Indonesia.”
Untuk diketahui, kesepakatan awal atau head of agreement (HoA) divestasi Vale Indonesia diteken di sela Pertemuan Pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik 2023, Novemer 2023, dalam sebuah upacara yang dihadiri oleh Presiden Indonesia Joko Widodo, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo, serta pejabat pemerintah lainnya.
VBM mengeklaim perjanjian tersebut mengguntungkan bagi Vale lantaran lantaran membuka jalan bagi pembaruan izin pertambangan INCO di Indonesia selepas 2025, yang selanjutnya memungkinkan investasi Vale dan proyek-proyek pertumbuhan baru di Bahodopi, Sorowako dan Pomalaa.
(ibn/wdh)