Data yang pernah dilansir oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) beberapa waktu lalu menangkap juga fenomena ini. Pertumbuhan DPK tertinggi terjadi pada Desember 2021 di mana dana masyarakat di bank tumbuh 12,21%. Sejak menyentuh puncak tersebut, tren DPK di bank terus menurun, bahkan mencatat pertumbuhan terendah pada Oktober lalu sebesar 3,43%.
Porsi dana masyarakat yang ditabung di bank pada kuartal IV-2021 mencapai 46%, sementara dana masyarakat di SBN hanya 13% dan saham 15%. Selebihnya, sekitar 26% masuk ke obligasi korporasi dan instrumen-instrumen lain termasuk aset-aset di luar negeri. Peta itu bergesar di mana pada kuartal III-2023, porsi tabungan dana pihak ketiga di bank turun menjadi 42%, saham meningkat 16% sementara porsi SBN mencapai 15%.
Hal itu menunjukkan, "Masyarakat mulai mendiversifikasi investasinya ke instrumen pasar keuangan, tidak lagi hanya mengandalkan produk simpanan perbankan," kata Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistyaningsih, beberapa waktu lalu.
Pengaruh ke Konsumsi
Namun, fenomena peningkatan minat investasi di instrumen pasar modal ketimbang menempatkan dana di perbankan, sepertinya hanya terjadi di kalangan menengah atas. Ini yang terlihat bila melihat data distribusi simpanan yang terakhir dilansir oleh LPS per Oktober lalu.
Simpanan dengan saldo kecil yaitu di bawah Rp200 juta, pada Oktober 2023 mencatat penurunan dibandingkan posisi akhir tahun 2022 di kala kelompok rekening dengan nilai di atas itu kesemuanya meningkat.
Bahkan rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta selama tiga bulan berturut-turut, menurun yakni pada Juli-September 2023. Sementara rekening dengan saldo menengah atas yaitu yang memiliki saldo antara Rp1 miliar sampai Rp5 miliar mencatat pertumbuhan tertinggi hingga 4,2% year-to-date sampai Oktober lalu.
Ini yang disinyalir oleh Badan Pusat Statistik memberikan pengaruh terhadap pelemahan kinerja konsumsi rumah tangga tahun lalu. Seperti dilansir sebelumnya, pertumbuhan ekonomi pada 2023 hanya 5,05% akibat pelemahan kinerja konsumsi yang hanya tumbuh 4,82%, lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya sebesar 4,92%.
Menurut BPS, ada kecenderungan perubahan pola alokasi pendapatan di kelas menengah atas yang terlihat menahan konsumsi dan menaikkan porsi pendapatan untuk investasi. "Investasi finansial mengalami penguatan. Ada sedikit pergeseran dari pengeluaran konsumtif atau spending ke investasi," kata Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar.
Ketika kelas menengah atas menahan konsumsi dan menaikkan porsi investasi, pada saat yang sama kelas menengah bawah terlihat mengalami tekanan daya beli yang bahkan membuat porsi tabungan kelompok ini berkurang karena terpakai untuk menutup pengeluaran konsumsi.
Penurunan saldo tabungan yang hanya terjadi di dua kelompok terbawah di bawah Rp200 juta menjadi indikasinya. Nilai tabungan kelas menengah bawah tergerus supaya kebutuhan konsumsi tetap terpenuhi di tengah tekanan harga pangan yang sudah berlangsung setahun terakhir dan kini semakin memuncak dengan lonjakan harga dan kelangkaan stok beras di mayoritas gerai ritel modern.
Penurunan konsumsi itu sepertinya masih akan berlanjut tahun ini bila menilik data penjualan durable goods seperti mobil dan sepeda motor. Pada Januari, penjualan mobil dari dealer ke konsumen turun 13,9% year-on-year sedangkan penjualan sepeda motor juga turun 3,7%.
Indikator lain adalah penurunan penerimaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) pada Januari lalu yang hanya Rp57,76 triliun, turun 22,61% dibandingkan realisasi Januari 2023 sebesar Rp74,64 triliun.
Pelemahan konsumsi kelas menengah, baik karena perubahan alokasi ke investasi seperti yang terjadi di kelas menengah atas ataupun karena tekanan daya beli akibat lonjakan harga seperti yang terlihat di kelas menengah bawah, akan membuat pertumbuhan ekonomi tahun ini masih akan lesu.
Pasalnya, sumbangan konsumsi kelas menengah terhadap total konsumsi nasional terbilang besar, mencapai kisaran 43%. Sementara konsumsi domestik adalah motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di mana porsinya terhadap Produk Domestik Bruto mencapai lebih dari 50%.
Kelas menengah menunjuk pada kelompok masyarakat yang memiliki pengeluaran sebesar Rp1,2 juta-Rp6 juta per bulan, di mana jumlahnya di Indonesia diperkirakan sekitar 54 juta orang. Ukuran itu menggunakan pengeluaran per kapita di mana bila ditarik ke level rumah tangga, angkanya bisa berkali lipat lebih besar.
Kelas menengah juga terbagi dari dua sub kelompok, yaitu menengah bawah (lower middle class) dan menengah atas (upper middle class). Sementara kelompok yang baru menuju kelas menengah (aspiring middle class) diperkirakan mencapai 115 juta orang, berdasarkan pengelompokan oleh Bank Dunia memakai data 2016 silam.
(rui/aji)