Selain itu, perusahaan yang berupaya memposisikan dirinya sebagai produsen 'logam hijau' ini, juga terjebak dalam dampak penurunan harga banyak komoditas yang menjadi andalan tambangnya, termasuk nikel.
Harga nikel merosot 45% tahun lalu, terpukul oleh lonjakan pasokan dari Indonesia, sementara kobalt juga anjlok. Logam lain seperti tembaga juga mengalami penurunan di tengah goyahnya perekonomian China.
Glencore mencatat penurunan nilai aset sebesar US$2,5 miliar pada akhir tahun lalu, termasuk US$762 juta pada aset tambang tembaga dan kobalt Mutanda di Republik Demokratik Kongo.
"Meskipun lingkungan makroekonomi saat ini masih penuh tantangan, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan mencapai titik terendahnya pada 2024,” kata CEO Glencore Gary Nagle, dikutip melalui Bloomberg News.
“Perkiraan penurunan suku bunga dan penyetokan kembali di sepanjang rantai pasokan kemungkinan akan membawa perbaikan dalam kondisi permintaan di pasar negara-negara barat pada akhir tahun ini.”
Biaya Tambang Bengkak 87%
Selain itu, Horizonte Minerals Plc —perusaan yang juga didukung Glencore — menyatakan pihaknya memerlukan pinjaman baru untuk memulai kembali proyek tambang nikelnya di Brasil Utara, setelah tinjauan mengungkapkan biaya tambang tersebut akan membengkak 87% lebih mahal dari perkiraan awal.
Proyek Araguaia di wilayah Amazon Brasil itu akan menelan biaya US$1 miliar, naik dari anggaran sebelumnya US$537 juta, di mana US$479 juta telah dihabiskan, kata Horizonte dalam sebuah pernyataannya pada awal pekan ini.
Tinjauan biaya itu terpaksa dilakukan, menyusul keputusan perusahaan pada tahun lalu yang membatasi proyek yang dikhususkan untuk 'pekerjaan kritis'. Awal produksi, yang dijadwalkan pada tahun ini, kini diundur menjadi awal 2026, dengan peningkatan yang diperpanjang menjadi 18 dari 12 bulan.
Meski demikian, Glencore pun mengatakan sedang menjalin kerja sama dengan investor lama dan calon investor baru dalam “solusi pembiayaan penuh” serta mengadakan pembicaraan untuk merestrukturisasi fasilitas utang perusahaan untuk memaksimalkan pembengkakan biaya tersebut.
“Penyelesaian kegiatan konstruksi di Araguaia akan bergantung pada keberhasilan penyelesaian solusi pembiayaan penuh pada 2024,” kata Horizonte, yang juga didukung oleh perusahaan investasi La Mancha dan Orion.
“Pada tahap ini, tidak ada kepastian bahwa solusi pembiayaan penuh akan tercapai dan pembaruan lebih lanjut akan diberikan pada waktunya.”
Laba Anglo American Turun Curam
Selain Glencore, Anglo American Plc juga melaporkan penurunan laba yang curam. Senasib dengan Glencore, saksasa pertambangan yang berbasis di London, Inggris ini juga menurunkan dividennya setelah komoditas utama yang diproduksinya mengalami kemerosotan harga.
Saat sebagian besar industri pertambangan terpukul oleh penurunan harga dan permintaan yang lemah, bagi Anglo, hal ini sangat menyedihkan.Perusahaan terpaksa memangkas secara drastis target produksi tembaganya, yang membuat sahamnya jatuh pada akhir tahun lalu.
Anglo melaporkan penurunan pendapatan lebih dari 30% menjadi US$9,96 miliar sepanjang 2023, sekaligus memangkas dividen akhir sebesar 45% dari periode yang sama 2022.
Selain itu, Anglo juga mencatatkan kerugian unit bisnisnya di bidang berlian, De Beers, sebesar US$1,6 miliar. Sementara itu, awal pekan ini, mereka juga mengusulkan pemangkasan 3.700 pekerjaan di seluruh operasi platinumnya di Afrika Selatan.
Anglo juga melakukan penghapusan pada bisnis nikelnya.
Perusahaan mengatakan, pengaturan ulang tersebut menempatkannya pada posisi untuk fokus mendapatkan lebih banyak keuntungan dari logam yang ditambangnya.
Namun, skala gangguan operasional itu telah meningkatkan fokus pada kepemimpinan perusahaan – baik bagi para eksekutif maupun dewan direksi – yang diharapkan jadi lirikan kepercayaan investor.
Anglo juga masih melihat pertumbuhan ke depan, sejalan dengan penandatanganan kesepakatan dengan Vale SA pada Kamis untuk mengintegrasikan deposit bijih besi Serpentina dengan aset tambang miliknya di Minas Rio di Brasil.
Dalam kesepakatan itu, Vale akan mengambil 15% saham dalam operasi yang diperluas dengan imbalan US$157,5 juta tunai dan sumber daya yang mengandung 4,3 miliar ton bijih besi.
BHP Tertekan Nikel
Tak berhenti di situ, BHP Group Ltd menjadi raksasa penambang global yang juga melaporkan penurunan laba bersih pada semester pertama tahun lalu hingga 86% dibandingkan dengan laba bersih dalam periode yang sama ditahun sebelumnya.
Itu disebabkan tak lain juga setelah adanya kelebihan pasokan di pasar nikel, yang memaksa penambang terbesar di dunia itu untuk mencatatkan nilai aset-aset utama.
Pekan lalu, perusahaan juga mengumumkan akan melakukan penurunan nilai sebesar U$2,5 miliar pada nilai aset nikel Australia, yakni Nickel West, yang mungkin akan dihentikan pada akhir tahun ini setelah dilakukan peninjauan.
"Akan ada periode kelebihan pasokan nikel selama beberapa tahun" yang bisa berlangsung hingga akhir dekade ini, kata CEO Mike Henry dalam wawancara dengan Bloomberg Television pada Selasa (20/2/2024) usai BHP mengumumkan kinerja keuangannya.
"Pertimbangan yang perlu kami berikan kepada nikel adalah apa yang kami lakukan dengan bisnis kami dalam periode tersebut, mengingat saat ini sedang merugi dan sudah berlangsung cukup lama," lanjutnya.
Pada tahun lalu, atau hanya 12 bulan setelah membukukan laba tertingginya sepanjang sejarah karena harga melonjak imbas Invasi Rusia-Ukraina, perusahaan kini malah melaporkan laba tahunan yang terendah dalam tiga tahun ke belakang.
Perusahaan itu kini juga tengah meminta dukungan pemerintah untuk meminta keringanan royalti, dan "memberikan dukungan lebih lanjut dengan kebijakan yang cerdas, terarah, dan terbatas waktu" untuk sektor nikel.
Dunia Hadapi 'Nickel Woes'
Karut-marut kinerja perusahaan-perusahaan tambang global tidak lepas dari isu tekanan harga yang menimpa nikel setahun terakhir.
Dalam kaitan itu, Indonesia —sebagai negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia — kini memang tengah menjadi kambing hitam atas merosotnya harga nikel, yang juga melanjutkan tren penurunan pada awal tahun ini.
Berdasarkan data survei Badan Geologi Amerika Serikat (USGS), Indonesia memang menjadi negara dengan produksi nikel terbesar di dunia sepanjang tahun lalu dengan total mencapai 1,8 juta metrik ton (mt). Angka itu memang menyumbang setengahnya dari perkiraan produk nikel global yang mencapai 3,8 juta mt.
Terlebih, jorjoran produksi nikel RI juga diperkirakan akan terus melonjak, seiring dengan adanya ambisi Tanah Air untuk membangun industri domestik berbasis penghiliran dari usaha ekstraksi sumber daya alam (SDA) alias pertambangan.
Ambisi itu pula yang menyebabkan melimpahnya pasokan nikel murah, yang merupakan hasil dari investasi besar-besaran China dan juga terobosan teknologi besar-besaran.
(wdh)