Bahkan agar program unggulan itu bisa direalisasikan, Prabowo juga membuka rencana membentuk sebuah kementerian khusus sebagai pelaksana program makan siang gratis tersebut.
Sejauh ini, Prabowo memang unggul dalam hitung cepat yang digelar banyak lembaga survei, juga dalam penghitungan manual oleh Komisi Pemilihan Umum yang sampai kini belum selesai. Program makan siang gratis menjadi perhatian utama pelaku pasar karena besarnya biaya yang harus dianggarkan untuk program itu niscaya mempengaruhi keuangan negara.
"Kami percaya risiko fiskal Indonesia dalam jangka menengah meningkat menyusul beberapa rencana program Prabowo seperti makan siang gratis yang memakan sekitar 2% Produk Domestik Bruto dan pernyataannya bahwa Indonesia bisa mencapai kenaikan rasio utang terhadap PDB," kata Thomas Rookmaker, Head of Asia Pasicif Sovereigns di Fitch Ratings.
Selain makan siang gratis, komitmen Prabowo yang mengusung narasi keberlanjutan program-program Presiden Joko Widodo seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) juga membutuhkan biaya tidak sedikit. Sebagai gambaran, biaya makan siang gratis sebesar lebih dari Rp400 triliun itu lebih besar ketimbang nilai defisit APBN 2023 yang sebesar Rp347,6 triliun.
Untuk mendorong program-program populis itu bisa terealisasi, ruang fiskal harus dilebarkan termasuk dengan menaikkan batas defisit fiskal tahunan dan mengerek rasio utang. Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003 saat ini masih membatasi defisit fiskal tahunan Indonesia sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan total utang pemerintah terhadap PDB maksimal 60%.
Tim ekonomi Prabowo sebelumnya telah melontarkan gagasan untuk melebarkan defisit anggaran jadi 6%, juga melihat ada ada ruang untuk memperluas rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 50%.
"Revisi terhadap Undang-Undang yang sudah berusia 20 tahun tersebut memerlukan persetujuan parlemen dan mungkin akan menghadapi pembahasan bermuatan politis yang berlarut-larut. Prediksi kami, hal tersebut akan memakan waktu minimal 2-3 tahun termasuk upaya konsolidasi politik dari Prabowo untuk merangkul partai-partai," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas dalam catatannya.
Kondisi fiskal saat ini juga masih waspada karena beban pembayaran bunga utang sudah cukup besar. Pembayaran bunga utang mencapai Rp497,3 triliun, sekitar 15% dari total belanja negara dalam APBN 2024. "Beban bunga utang itu lebih tinggi ketimbang dana yang dialokasikan untuk proyek infrastruktur, dengan belanja modal negara mencapai Rp244 triliun atau 7% dari total belanja di mana hal itu antara lain disebabkan oleh faktor bunga yang relatif tinggi dan keterbatasan likuiditas domestik baik rupiah maupun dolar AS," jelas Satria.
(rui/hps)