Menurut Khudori, Bulog setidaknya membutuhkan pasokan sebanyak empat kali lipat dibandingkan dengan kebutuhan bulanan. Angka itu ideal untuk memastikan bahwa Bulog memiliki pasokan yang tersedia guna melaksanakan intervensi pasar secara mendadak dan untuk menjaga kualitas beras.
Namun, hal ini tentu harus diikuti dengan kepastian penyaluran beras Bulog di hilir. Bila Bulog tidak memiliki penugasan dan tidak menyalurkan, maka kualitas beras di gudang akan turun.
“Katakanlah kalau sebulan [kebutuhan] 400.000 ton, idealnya ada di gudang empat kali dari itu. Usia beras maksimal 3—4 bulan, idealnya 4 kali [kebutuhan]. Beras selama 4 bulan akan terus berputar. Jadi fresh, beras akan terus terjadi pergantian kalau itu sudah dilakukan dengan jaminan bahwa di hilir ada penyaluran yang pasti,” ujarnya.
Kendati demikian, Khudori mengatakan pemerintah sebenarnya memiliki pilihan lain untuk memberikan kepastian penyaluran beras SPHP, yakni memastikan bantuan sosial yang diberikan dalam bentuk uang dalam Program Keluarga Harapan (PKH) digunakan untuk membeli beras dari Bulog.
Selain untuk memberikan jaminan penyaluran, pemerintah pada saat yang sama bisa menjaga daya beli kelompok rentan ketika harga beras mengalami peningkatan.
Namun, program ini tentu harus dikelola dengan baik agar tidak merugikan dan menjatuhkan harga di tingkat petani.
“Mereka dapat Rp200.000 per keluarga. Tinggal pemerintah hitung, penugasan yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan di hulu petani supaya tidak ada potensi harga jatuh di petani itu berapa; 1,5 juta ton atau 1,2 juta ton?” ujarnya.
“Berarti tinggal konversi, masing-masing keluarga harus membeli berapa? Setahu saya program sembako terakhir menyasar 20 juta rumah tangga, kalau masing-masing diwajibkan membeli 5 kilogram, berarti 1,2 juta ton kebutuhannya satu tahun,”
(dov/wdh)