Batu bara adalah komoditas yang sangat diandalkan Indonesia di pasar ekspor. Pada Februari 2023, ekspor bahan bakar mineral HS 27 (yang didominasi batu bara) menyumbang 20,07% dari total ekspor non-migas. Jadi saat harga komoditas turun, efeknya terhadap ekspor akan sangat terasa.
Dengan tren penurunan harga komoditas, maka pertumbuhan ekspor tahun ini kemungkinan tidak setinggi tahun lalu. Pemerintah dalam Nota Keuangan 2023 memperkirakan ekspor tumbuh 8% tahun ini, jauh melambat dibandingkan 2022 yang tumbuh 24,49%.
Alarm Impor
Tidak hanya ekspor, data impor pun membunyikan alarm. Pada Februari 2023, impor Indonesia tercatat US$ 15,92 miliar. Turun 4,32% yoy, dan merupakan penurunan ketiga dalam 4 bulan terakhir. Secara bulanan, penurunannya jauh lebih tajam yaitu 13,68%.
Kontraksi impor jauh dari ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun Bloomberg memperkirakan impor tumbuh positif 9,06% yoy, lebih tinggi ketimbang pertumbuhan Januari 2023 yang 1,27% yoy.
Penurunan impor tidak selamanya bagus, apalagi sebagian besar impor Indonesia adalah bahan baku/penolong untuk keperluan industri. Penurunan impor, terutama bahan baku/penolong, menandakan industri dalam negeri mungkin sedang loyo.
Pada Februari 2023, nilai impor bahan baku/penolong adalah US$ 12,83 miliar. Turun 3,69% secara tahunan.
Sebelumnya, S&P Global telah menyoroti masalah ini. Data aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia memang masih menunjukkan ekspansi, dengan nilai indeks di atas 50. Namun terlihat laju ekspansi itu melambat.
Pada Februari 2023, skor PMI manufaktur Indonesia ada di 51,2. Turun dibandingkan Februari yang 51,3. Sub-indeks keyakinan bisnis bahkan berada di titik terendah sejak Mei 2020.
Pada Februari 2023, produksi industri manufaktur memang masih meningkat, tetapi lebih didukung oleh permintaan dalam negeri. Sementara permintaan ekspor masih turun. Dunia usaha yang menjadi responden menilai permintaan eksternal yang lemah masih membebani penjualan ekspor.
“Secara umum, sentimen industriawan manufaktur di Indonesia masih positif. Namun penurunan keyakinan bisnis ke titik terendah dalam hampir 3 tahun tentu mengkhawatirkan. Ini akan ditentukan oleh kondisi permintaan, terutama dari luar negeri, agar keyakinan mereka meningkat,” sebut Jingyi Pan, Economics Associates Director S&P Global, dalam keterangan tertulis.
Padahal manufaktur atau industri pengolahan adalah kontributor utama dalam pembentukan PDB dari sisi lapangan usaha. Tahun lalu, sumbangan sektor ini terhadap PDB mencapai 18,34%, peringkat teratas.
David Sumual, Ekonom Bank Central Asia (BCA), menilai sebenarnya aktivitas ekonomi secara umum mulai bergerak usai Indonesia dan berbagai negara mencabut pembatasan terkait pandemi Covid-19. Namun sepertinya dunia usaha belum terlalu yakin, sehingga belum menambah kapasitas produksi secara signifikan. Ini yang membuat impor bahan baku/penolong masih rendah.
“Beberapa bulan terakhir, impor memang melambat. Mungkin dunia usaha masih wait and see sebelum menambah kapasitas,” kata David kepada Bloomberg Technoz.
Ke depan, David menilai impor akan kembali tumbuh positif. Terutama impor migas, karena ada kebutuhan pengamanan pasokan BBM saat mudik lebaran.
“Impor barang konsumsi juga akan naik karena mengantisipasi permintaan Ramadan-Idul Fitri,” tambahnya.
(aji)