Lebih lanjut, Hendra berpendapat sulitnya ambisi pemerintah untuk penghiliran batu bara di Indonesia tidak terlepas dari faktor keekonomian. Sebab, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk memulai proyek penghiliran komoditas tulang punggung ekspor tersebut.
"Tantangannya tentu saja faktor kelayakan ekonomi atau keekonomian, mengingat teknologi gasifikasi masih terbilang mahal. Sementara itu, pendanaan untuk proyek-proyek batu bara juga makin sulit," tuturnya.
Adapun, untuk insentif yang diberikan kepada perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus menurut Hendra sudah cukup menarik.
Insentif yang sudah diberikan oleh pemerintah sejauh ini adalah pembebasan iuran produksi atau royalti kepada perusahaan yang sudah menjalankan hilirisasi batu bara.
"Tantangan lain adalah utk mendapatkan off taker atau pembeli sedia. Selain itu, harga jual DME juga sangat penting. Iya salah satu itu tentu harga khusus. Namun, overall keekonomian itu aspeknya banyak sekali, bukan hanya itu, sejauh ini pemerintah sudah banyak beri insentif fiskal dan nonfiskal," ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah tengah berburu investor atau mitra potensial untuk menggarap gasifikasi batu bara di Indonesia, pascahengkangnya Air Products & Chemical Inc (APCI) dari proyek yang dipenggawai oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
“Kita lihat nanti. Masih harus ada beberapa pembahasan teknis yang harus diselesaikan,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Selasa (14/3/2023), perihal rencana menjajaki investor baru.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun sudah mengonfirmasi hengkangnya APCI dari dua megaproyek gasifikasi batu bara oleh PTBA dan anak usaha PT Bumi Resources Tbk. (BUMI); PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Presiden Joko Widodo pun sebelumnya mengatakan proyek gasifikasi batu bara dapat mengurangi beban subsidi energi untuk liquified petroleum gas (LPG) senilai Rp7 triliun per tahun.
(rez/wdh)