Logo Bloomberg Technoz

Selain itu, BI juga masih mewaspadai risiko inflasi dari kegiatan importasi barang (imported inflation) akibat gangguan supply chain seiring masih panasnya konflik geopolitik di beberapa kawasan ditambah gangguan iklim yang bisa menaikkan harga pangan.

Lonjakan harga pangan di pasar global bisa berimbas jauh ke dalam negeri di mana itu bisa mengerek laju inflasi pangan bergejolak (volatile food) yang saat ini sudah di atas 7% dari tadinya 6%.

"Ini yang perlu diatasi terkait harga pangan. Faktor El Nino, musiman dan tertundanya musim panen serta faktor-faktor global lain perlu diatasi oleh kerjasama pemerintah dengan bank sentral," kata Perry.

BI memperkirakan, inflasi harga pangan bergejolak sifatnya temporer dan setelah masa panen pada April-Mei nanti, tekanan harga pangan akan kembali melandai sehingga secara keseluruhan, kata Perry, tidak akan mengganggu rancangan arah kebijakan BI. Tahun ini, BI menargetkan inflasi volatile food di kisaran 5%.

Pertumbuhan Kredit 'Ngegas'

Mempertahankan bunga kebijakan di 6% ditempuh kendati itu berarti mengerem laju perekonomian sehingga hanya tumbuh 5,05% tahun lalu. Terutama akibat pelemahan konsumsi masyarakat di tengah kelesuan ekspor dan kredit yang moderat tak sampai 11%.

Tahun ini, resep yang sama masih akan dijalankan oleh bank sentral meskipun ada kekhawatiran pelemahan konsumsi akan semakin mengikis daya beli masyarakat dan menyeret pertumbuhan ekonomi.

Bank Indonesia menilai, 'jamu pahit' pengetatan melalui BI Rate yang tidak juga turun masih bisa diimbangi dengan 'jamu manis' berupa insentif likuiditas untuk perbankan agar penyaluran kredit tetap terdorong. Dengan begitu, roda ekonomi tetap berjalan.

"Kebijakan insentif likuiditas [KLM] sebanyak Rp168 triliun ternyata efektif mendorong kredit. Kami masih optimistis tahun ini bisa tumbuh 10%-12% didasari prediksi permintaan kredit akan tumbuh terutama dari sektor terkait ekspor, perdagangan besar, jasa dunia usaha, dan sebagainya," jelas Perry.

Ekspor RI tahun ini diyakini akan pulih lebih baik ketimbang tahun lalu disokong oleh perbaikan perekonomian global terutama perekonomian AS yang menyumbang 16% ekonomi dunia juga India, kedua negara itu memiliki hubungan dagang signifikan dengan Indonesia.

"Ini yang membuat pertumbuhan ekonomi dalam negeri salah satunya kinerja ekspor masih terus membaik di tengah China yang melambat akan tetapi ekspor ke China kini sudah banyak value added dari hilirisasi sehingga neraca dagang kita masih surplus dan mendukung pertumbuhan ekonomi kita ke depan," jelas Perry.

Dari sisi penawaran, BI menilai kondisi likuiditas bank saat ini masih memadai untuk melayani permintaan. Rasio alat likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih di atas 27%. Jadi, kendati DPK hanya tumbuh 5%-6%, BI tidak menilai ada permasalahan terkait kapasitas bank menyalurkan kredit. "27% alat likuid ditaruh di Surat Berharga, itu bisa dipindahkan menjadi kredit," kata Perry. 

Sampai Januari lalu, kredit perbankan mencetak pertumbuhan 11,83% disokong oleh pertumbuhan kredit investasi sebesar 13,39%, lalu kredit modal kerja 12,26% dan kredit konsumsi yang tumbuh 9,64%.

 

(rui/aji)

No more pages