Dari sisi eksternal, menurut Riefky, The Fed atau Bank Sentral AS masih mempertahankan suku bunga dan mengindikasikan penurunan suku bunga yang kemungkinan akan ditunda.
Dalam konferensi pers beberapa waktu lalu, menurut dia, Ketua the Fed Jerome Powell mengindikasikan penurunan suku bunga pada bulan Maret tidak mungkin terjadi kecuali ada jaminan keberlanjutan menuju target inflasi 2%.
“Mengingat Inflasi masih di atas target 2%, The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga kebijakannya pada kisaran 5,25% - 5,50% pada pertemuan FOMC Januari 2024,” katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan saat ini Indonesia masih mencatatkan aliran modal masuk. Tercatat, aliran modal masuk ke obligasi dan pasar saham sebesar US$150 juta, didorong oleh arus masuk saham sebesar US$770 juta. Sementara arus keluar obligasi tercatat sebesar US$230 juta, antara pertengahan Januari 2024 hingga pertengahan Februari 2024.
“Meskipun tidak ada tekanan dari inflasi, menjaga perbedaan imbal hasil yang memadai antara obligasi Pemerintah Indonesia dan obligasi Negara AS sangat penting untuk mencegah arus keluar modal dan menjaga nilai tukar Rupiah tetap terkendali,” paparnya.
Riefky menjelaskan, rupiah terdepresiasi sebesar 1,69% (year-to-date) menjadi Rp15.655 per US$ pada 16 Februari 2024. Yang menurutnya, sejalan dengan tren historis bahwa rupiah cenderung melemah menjelang pemilu ditambah dengan mengecilnya kemungkinan penurunan suku bunga The Fed dalam beberapa bulan mendatang.
“Mempertahankan BI Rate mungkin merupakan sikap paling bijak dalam Rapat Dewan Gubernur mendatang,” pungkas Riefky.
(azr/lav)