Angka pertumbuhan ekonomi 7% pernah dijanjikan Jokowi kala berkampanye menjadi presiden pada 2014 silam. Namun, janji itu dipastikan gagal dipenuhi Jokowi dalam 10 tahun berkuasa. Dengan pertumbuhan ekonomi tahun ini diprediksi di kisaran 5%, maka selama satu dekade memerintah, pertumbuhan ekonomi era Jokowi rata-rata hanya di kisaran 4,78% per tahun.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut, untuk bisa membawa perekonomian domestik tumbuh 6%-7% per tahun, Indonesia membutuhkan nilai investasi 41%-48% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sementara saat ini, rasio tabungan domestik yang juga memasukkan nilai investasi masyarakat di aset-aset pasar keuangan, baru di kisaran 37% terhadap PDB. Hal itu mengindikasikan Indonesia masih kekurangan dana untuk membiayai investasi yang dibutuhkan agar perekonomian tumbuh lebih cepat.
"Jadi sebagai solusinya, siapapun nanti yang menjadi presiden, ia perlu menaikkan porsi tabungan tersebut. Itu berarti dengan menaikkan rasio pajak terhadap PDB, Indonesia perlu membuka lebih banyak investasi dari luar negeri dan meningkatkan produktivitas," jelas Chatib seperti dikutip dari Bloomberg News.
Kebijakan hilirisasi yang digadang oleh Jokowi sejauh ini mungkin berhasil menarik banyak investasi masuk senilai miliaran dolar. Akan tetapi capaian itu masih belum mampu membawa pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Lebih spesifik, investasi yang masuk sejauh ini belum mampu menciptakan lapangan kerja sesuai harapan.
Pada 2023 misalnya, ketika realisasi investasi mencapai Rp1.418,9 triliun, tumbuh 17,5% year-on-year yang terdiri atas penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp744 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp674,9 triliun.
Meski tumbuh mengesankan, akan tetapi investasi tersebut tidak berhasil menarik lapangan kerja yang signifikan dengan penciptaan pekerjaan baru hanya 1,82 juta orang akibat jenis investasi yang masuk cenderung padat modal alih-alih padat karya.
Angka pengangguran di Indonesia saat ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan era sebelum pandemi Covid-19 melanda. Tahun lalu angka pengangguran mencapai 7,86 juta orang, sementara jumlah orang yang berstatus setengah pengangguran yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per hari dan masih mencari pekerjaan lebih layak jumlahnya mencapai 9,34 juta orang.
Dengan kata lain sebanyak 17,2 juta orang Indonesia usia kerja masih menganggur dan belum memiliki pekerjaan layak. Angka itu lebih tinggi dibandingkan 2019 yang baru di kisaran 15,18 juta orang.
Selain itu, selama beberapa tahun terakhir, sektor informal juga semakin mendominasi lapangan kerja dengan proporsi mencapai 60,12%. Pada saat sama, UMKM juga masih didominasi oleh sektor mikro dengan proporsi mencapai 99,6%.
Dominasi lapangan kerja informal dan UMKM yang mayoritas baru di level mikro, menjadi cerminan kegagalan penyelenggara negara mendorong dan menciptakan lapangan kerja yang lebih layak bagi masyarakat.
"Semua orang sudah mengetahui apa saja tantangannya, mulai dari tenaga kerja terampil yang rendah, dan lain sebagainya. Kita perlu fokus pada pembangunan sumber daya manusia. Tanpa itu, kita tidak akan mampu meningkatkan produktivitas, industrialisasi dan diversifikasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi," kata Mari Elka Pangestu, mantan Menteri Perdagangan, dalam wawancara dengan Bloomberg Television.
Studi yang pernah dilakukan oleh LPEM Universitas Indonesia, menilai, tanpa terobosan kebijakan yang jelas, termasuk di antaranya mendorong kelas menengah yang kuat sebagai motor pertumbuhan ekonomi jangka panjang, akan sulit bagi Indonesia merealisasikan ambisi 2045 itu.
Baca juga: Pengabaian Kelas Menengah Ancam Ambisi RI Menjadi Negara Berpenghasilan Tinggi
Penciptaan kesetaraan akses pendidikan dan kesehatan perlu didorong supaya ada perbaikan kualitas sumber daya manusia dan memperkuat kelas menengah.
"Kami khawatir bahwa obsesi berlebihan terhadap mimpi Indonesia Emas 2045 menjadi negara kaya akan mengubah orientasi kebijakan pemerintah serta alokasi sumber daya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata melalui investasi besar-besaran pada sektor padat modal. Pertumbuhan ekonomi tinggi tidak serta merta akan mengurangi kemiskinan jika mesin pertumbuhan dimotori oleh sektor-sektor di mana kelompok miskin dan rentan kurang terlibat," kata Teguh Dartanto dan Canyon K. Can, peneliti LPEM UI.
Dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi RI tidak pernah beranjak jauh dari 5%. Sementara pertumbuhan kredit juga tidak pernah melampaui 15%, ditambah partisipasi kerja perempuan juga masih tertahan di 54%.
Sementara rasio pajak terhadap PDB juga masih di bawah 11%. Bahkan di era Jokowi, rasio pajak melorot di angka 9,9%.
"Kontribusi industri juga terus menurun dan hanya sekitar 18% dari PDB dan kemiskinan ekstrem persisten di tingkat 1,7%," imbuh Chaikal Nuryakin, Kepala LPEM FEB UI.
Makan Siang Gratis
Prabowo dan tim ekonomi di belakangnya sangat vokal mengkampanyekan program makan siang gratis sebagai program unggulan yang diyakini bisa membantu perbaikan sumber daya manusia dan mendorong kemajuan jangka panjang. Program itu diperkirakan menelan biaya hingga Rp400 triliun per tahun dan diragukan bisa direalisasikan tanpa memperluas ruang fiskal yang berarti meningkatkan level defisit APBN.
Akan tetapi Prabowo dan timnya tidak membeberkan lebih jelas seperti apa teknis program tersebut, juga perhitungan seberapa besar dampak program terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, seberapa dekat korelasi program makan siang gratis dengan ambisi membawa Indonesia ke jajaran negara berpendapatan tinggi pada 2045 mendatang.
Yang sudah cukup jelas adalah rencana pembiayaan program makan siang gratis tersebut. Dalam wawancara bersama Bloomberg Television, beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, mengungkapkan, untuk membiayai program makan siang gratis, Pemerintah Prabowo nanti bila terpilih akan melakukan efisiensi subsidi energi, utamanya bahan bakar minyak (BBM) dan Elpiji.
“Sekitar 80% dari anggaran Rp 350 triliun untuk subsidi Solar dan Elpiji sebagian besar dinikmati oleh kelompok masyarakat berpendapatan menengah-tinggi,” kata Eddy.
Langkah efisiensi subsidi energi dapat memicu dampak lebih luas apabila itu berarti kenaikan harga BBM bersubsidi. Efek ke inflasi harga dan daya beli masyarakat perlu penghitungan yang matang terlebih sejauh ini tekanan konsumsi masyarakat sudah begitu kentara akibat lonjakan harga pangan seperti beras.
Kelas bawah bisa semakin tertekan dan kelas menengah berisiko terseret jatuh ke bawah tanpa ada stimulus yang membantu pemulihan konsumsi mereka.
Prabowo dan timnya akan membutuhkan perubahan Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003 yang membatasi defisit fiskal tahunan Indonesia sebesar 3% dari PDB dan total utang pemerintah terhadap PDB maksimal 60%, agar bisa membiayai berbagai macam program populis mulai dari makan siang gratis yang berbiaya mahal dan proyek mercusuar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Tim ekonomi Prabowo sebelumnya sudah sempat melontarkan gagasan untuk melebarkan defisit anggaran jadi 6%, sedang Prabowo melihat ada ruang untuk memperluas rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 50%.
"Revisi terhadap Undang-Undang yang sudah berusia 20 tahun tersebut memerlukan persetujuan parlemen dan mungkin akan menghadapi pembahasan bermuatan politis yang berlarut-larut. Prediksi kami, hal tersebut akan memakan waktu minimal 2-3 tahun termasuk upaya konsolidasi politik dari Prabowo untuk merangkul partai-partai," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas dalam catatannya.
Kondisi keuangan negara saat sudah cukup berat terbebani pembayaran bunga utang. Pembayaran bunga utang mencapai Rp497,3 triliun, sekitar 15% dari total belanja negara dalam APBN 2024. Beban bunga utang itu lebih tinggi ketimbang dana yang dialokasikan untuk proyek infrastruktur, dengan belanja modal negara mencapai Rp244 triliun atau 7% dari total belanja di mana hal itu antara lain disebabkan oleh faktor bunga yang relatif tinggi dan keterbatasan likuiditas domestik baik rupiah maupun dolar AS.
"Semua kebijakan yang populis itu akan menyulitkan ruang fiskal untuk menanggung. Bila tidak terencana dengan hati-hati, program-program itu bisa mengerosi stabilitas makro kita," kata Eko Listiyanto, ekonom INDEF.
(rui/aji)