Pada saat ini, Prabowo-Gibran memiliki kekuatan politik dari empat partai yang lolos ke DPR yaitu Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat. Akan tetapi, total perolehan empat partai ini diprediksi tak akan menguasai lebih dari 50% kursi di DPR.
Jokowi bisa saja mengambil peran untuk mengajak partai politik lain untuk masuk pada koalisi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Beberapa di antaranya adalah Partai Nasdem dan PKB yang memiliki sejarah koalisi dengan Jokowi dalam 10 tahun terakhir.
"Karena namanya menghubungkan bagus-bagus saja, positif-positif saja. Kecuali merecoki, menghalangi itu kan negatif, tapi kalau menghubungkan itu bagus," ujar Ujang.
Berbeda, Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor justru mengkritik langkah politik Jokowi yang menggelar pertemuan dengan Surya Paloh.
Dia menilai, proses Pemilu 2024 belum usai. KPU belum menetapkan presiden dan wakil presiden terpilih. Proses rekapitulasi data suara nasional juga masih bergulir hingga batas akhir pada 20 Maret mendatang.
Pertemuan Jokowi dan Surya Paloh justru menimbulkan kebingungan karena seolah proses Pemilu sudah tuntas. Padahal, sejumlah partai masih terus mengawal proses rekapitulasi. Beberapa calon juga masih punya hak untuk mengajukan gugatan, termasuk potensi terjadinya putaran kedua.
"Iya mungkin ada upaya ke sana (koalisi), tapi upaya itu terlalu dini menurut saya," kata Firman.
Dia juga menilai janggal sikap Surya Paloh yang sebelumnya menjadi salah satu tokoh utama di balik kepercayaan terhadap Anies Baswedan untuk memenangkan Pemilu 2024. Toh, pasangan calon nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memiliki peluang besar maju ke putaran kedua jika Prabowo-Gibran bisa dibuktikan tak meraih lebih dari 50% suara nasional.
"[jangan] sampai dianggap menelan ludah sendiri, dan perhitungan pun juga belum selesai masih ada waktu," ujar dia.
(prc/frg)