Keengganan pemodal asing masuk ke pasar SBN dalam nilai meyakinkan sudah berlangsung sejak sebelum pemilu dilangsungkan. Beberapa pengelola dana global mengurangi posisi di SBN untuk mengantisipasi perubahan kebijakan fiskal yang mempengaruhi prospek surat utang.
Prabowo Subianto, yang sejauh ini muncul sebagai pemenang pilpres berdasarkan hasil hitung cepat, mengunggulkan berbagai kebijakan populis seperti makan siang gratis untuk 83 juta anak sekolah yang diprediksi menelan biaya Rp400 triliun per tahun di tengah keterbatasan ruang fiskal yang sudah banyak dibebani pengeluaran untuk membayar bunga utang.
Prabowo dalam kesempatan sebelumnya bahkan pernah menyebut Indonesia bisa meningkatkan rasio utang hingga 50% dari produk domestik bruto (PDB), jauh melampaui level rasio tahun lalu sebesar 38%. Bukan hanya itu, tim ekonomi Prabowo dalam kampanye juga sempat melontarkan gagasan melebarkan defisit anggaran hingga 6%, di mana untuk hal itu maka perlu perubahan Undang-Undang yang sejauh ini membatasi defisit maksimal 3%.
Bank of America memperkirakan semakin banyak program bantuan sosial dan kebijakan proteksionis akan membuat defisit APBN semakin lebar ke kisaran 2,5%-3% PDB, dari sebesar 1,65% defisit tahun lalu.
"Semua kebijakan yang populis itu akan menyulitkan ruang fiskal untuk menanggung. Bila tidak terencana dengan hati-hati, program-program itu bisa mengerosi stabilitas makro kita," kata Eko Listiyanto, ekonom INDEF seperti dikutip dari Bloomberg News.
Sementara lembaga pemeringkat Fitch Ratings sudah memberikan peringatan akan adanya peningkatan risiko fiskal Indonesia dalam jangka menengah sejurus dengan program-program populis yang menjadi andalan Prabowo bila kelak sudah sah keluar sebagai pemimpin baru Indonesia.
"Kami percaya risiko fiskal Indonesia dalam jangka menengah meningkat menyusul beberapa rencana program Prabowo seperti makan siang gratis yang memakan sekitar 2% Produk Domestik Bruto dan pernyataannya bahwa Indonesia bisa mencapai kenaikan rasio utang terhadap PDB," kata Thomas Rookmaker, Head of Asia Pasicif Sovereigns di Fitch Ratings.
Risiko fiskal yang meningkat bisa membebani pamor surat utang Indonesia. Pasar masih akan menunggu bagaimana pemerintahan baru kelak tetap bisa mempertahankan kredibilitas fiskal di antara berbagai program populis yang memboroskan anggaran.
Pada 2023 lalu, pemodal asing membeli sedikitnya US$5 miliar surat utang RI, terbesar sejak 2019 berdasarkan data yang dilansir oleh Kementerian Keuangan. Arus masuk modal asing itu terutama dipicu oleh apresiasi terhadap perbaikan di beberapa indikator perekonomian beberapa tahun terakhir. Mulai dari penurunan defisit fiskal kembali ke bawah 3% pada akhir 2022, setahun lebih awal ketimbang target pemerintah. Juga, capaian surplus neraca dagang yang sudah berlangsung sejak Mei 2020.
Progam pengampunan pajak yang dilancarkan oleh pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo juga berhasil menarik ratusan miliar dolar aset yang sebelumnya tersembunyi. Ini memberi penguatan pada nilai tukar rupiah.
Akan tetapi, dengan kini hasil penghitungan cepat hasil pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum masih belum usai dan protes terhadap banyak kejanggalan dan kecurangan, ketidakpastian pasar masih belum sirna.
Sejatinya, para pemodal asing sudah bersiap menyerbu aset-aset di pasar Indonesia, termasuk saham dan obligasi sehingga rupiah diprediksi bisa menguat 2% dari kisaran saat ini, sebulan ke depan. Mengacu pada prediksi Bank of New York (BNY) Mellon, ada ruang bagi investor global menambah kepemilikan di obligasi.
"Pemilu memberikan kejelasan arah Indonesia dengan selama ini ia menjadi kisah tentang pertumbuhan di kawasan Asia Pasifik yang dibutuhkan. Ini dilihat sebagai cerita kawasan. Kami perkirakan ada kenaikan 1%-2% untuk rupiah ketika semuanya pasti dalam sebulan ke depan," kata Head of Markets Strategy BNY Mellon Bob Savage.
Sementara menurut analisis Mega Capital Sekuritas, langkah investor asing yang masih menjauhi aset fixed income dan banyak mengarahkan pembelian ke aset lebih berisiko seperti saham, mengindikasikan pemodal asing siap mengambil risiko lebih besar demi meraup cuan lebih tebal.
"Kami perkirakan investor asing masih akan melanjutkan aksi pembelian di pasar saham mengingat di sana ada potensi keuntungan lebih besar dibandingkan di obligasi," kata Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Prayadi.
(rui/roy)