Dalam pandangan Bahana Sekuritas, beberapa program andalan yang diusung oleh Prabowo seperti makan siang gratis dan kelanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) kemungkinan besar akan membutuhkan perubahan pada Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003 yang membatasi defisit fiskal tahunan Indonesia sebesar 3% dari PDB dan total utang pemerintah terhadap PDB maksimal 60%.
Tim ekonomi Prabowo melontarkan gagasan untuk melebarkan defisit anggaran jadi 6%, sedang Prabowo melihat ada ruang untuk memperluas rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 50%.
"Kami tidak memperkirakan pelonggaran atas kehati-hatian fiskal akan terjadi secepat ini. Revisi terhadap Undang-Undang yang sudah berusia 20 tahun tersebut memerlukan persetujuan parlemen dan mungkin akan menghadapi pembahasan bermuatan politis yang berlarut-larut. Prediksi kami, hal tersebut akan memakan waktu minimal 2-3 tahun termasuk upaya konsolidasi politik dari Prabowo untuk merangkul partai-partai," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas dalam catatannya.
Selain itu, kondisi fiskal saat ini juga karena keuangan negara sudah cukup berat terbebani pembayaran bunga utang. Pembayaran bunga utang mencapai Rp497,3 triliun, sekitar 15% dari total belanja negara dalam APBN 2024. "Beban bunga utang itu lebih tinggi ketimbang dana yang dialokasikan untuk proyek infrastruktur, dengan belanja modal negara mencapai Rp244 triliun atau 7% dari total belanja di mana hal itu antara lain disebabkan oleh faktor bunga yang relatif tinggi dan keterbatasan likuiditas domestik baik rupiah maupun dolar AS," jelas Satria.
Asing Lepas Surat Utang
Pergerakan pasar surat utang dua pekan terakhir memang cenderung muram. Bahkan di pekan pemilu ketika bursa saham melesat naik setelah hasil hitung cepat terlihat memberi peluang besar bahwa pilpres hanya perlu satu putaran, hal yang serupa tidak terlihat di pasar obligasi. Pemodal asing terus melepas kepemilikan surat utang mereka.
Yield atau imbal hasil surat utang RI (SBN) berdenominasi rupiah, SUN/INDOGB cenderung naik. Sementara surat utang berdenominasi dolar AS, INDON, lebih kuat bertahan.
Berdasarkan data Bank Indonesia, mengacu pada transaksi antara 12-15 Februari lalu, pemodal asing di pasar domestik mencatat posisi beli neto senilai Rp4,07 triliun terdiri atas pembelian bersih senilai Rp6,03 triliun di pasar saham. Namun, investor asing mencatat posisi jual bersih di SBN dan SRBI masing-masih sebesar Rp980 miliar.
Menarik lebih jauh dari awal tahun, sepanjang tahun ini hingga 15 Februari lalu, pemodal asing bahkan masih mencatat posisi jual bersih di SBN senilai Rp680 miliar. Sementara di Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI), asing masih mencetak posisi net buy Rp29,76 triliun dan di saham juga net buy Rp15,41 triliun.
Sentimen global terlihat membebani pasar surat utang domestik di mana data-data inflasi Amerika Serikat yang dirilis pekan lalu mengikis optimisme bahwa proses disinflasi di negeri itu berjalan sesuai harapan.
Setelah inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Januari AS mencatat penurunan yang lebih kecil ketimbang harapan pasar, inflasi harga produsen juga tercatat hanya turun tipis.
Dua data itu memantik kekhawatiran pasar bahwa proses disinflasi AS bulan lalu tidak sesuai perkiraan dan kemungkinan bakal terhambat akibat kenaikan inflasi inti personal consumption expenditure (PCE). Itu juga akan memperkecil peluang penurunan bunga acuan Federal Reserve. Pasar surat utang global terjebak di zona merah sampai penutupan pekan lalu.
(rui/aji)