Logo Bloomberg Technoz

Untuk membiayainya, lanjut Eddy, pemerintahan Prabowo-Gibran (jika benar-benar terpilih) akan melakukan reformasi subsidi energi, utamanya bahan bakar minyak (BBM) dan Elpiji. Sebab, subsidi itu ternyata lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu.

“Sekitar 80% dari anggaran Rp 350 triliun untuk subsidi Solar dan Elpiji sebagian besar dinikmati oleh kelompok masyarakat berpendapatan menengah-tinggi,” tegas Eddy.

Reformasi Subsidi

Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah sebenarnya telah melakukan reformasi subsidi energi. Pada akhir 2014, pemerintah mencabut subsidi BBM jenis Premium, memberikan subsidi tetap (fixed subsidy) untuk Solar, dan menyesuaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) untuk 10 golongan.

Hasilnya nyata. Pada 2014, APBN terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), realisasi subsidi energi masih di Rp 240 triliun. Setahun sesudahnya, berkurang menjadi Rp 117,4 triliun atau turun 51,08%.

Sumber: Kementerian ESDM

Jadi, andai Prabowo-Gibran ingin kembali melakukan reformasi subsidi energi, maka ruang penghematan anggaran yang bisa didapat cukup besar. Penghematan itu bisa menjadi salah satu sumber pembiayaan untuk program makan siang dan susu gratis.

Apalagi subsidi energi kebanyakan dinikmati oleh mereka yang mampu, seperti yang dikatakan Eddy. Hasil riset Bank Dunia menyebut masyarakat kelas menengah-atas menikmati 42-73% subsidi BBM. Sementara 29% subsidi Elpiji dinikmati oleh mereka yang mampu.

“Jika 2 subsidi itu dihapus, maka nilai penghematannya bisa mencapai 1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Anggarannya bisa dialihkan ke subsidi langsung kepada masyarakat miskin dan rentan, dengan biaya 0,5% PDB. Dengan demikian, secara netto akan tercipta penghematan fiskal,” sebut riset Bank Dunia.

Biaya Logistik Naik

Akan tetapi, pemangkasan subsidi bukan tanpa konsekuensi. Saat subsidi dikurangi, apalagi kalau dicabut, maka harga akan naik.

Pengurangan atau bahkan pencabutan subsidi BBM Solar akan berdampak luas. Sebab, Solar dipakai untuk keperluan logistik dan nelayan.

Mengutip keterangan resmi Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Solar adalah komponen dengan sumbangan besar terhadap biaya logistik, sekitar 30-40%. Saat komponen itu naik, maka akan mempengaruhi biaya logistik secara keseluruhan.

Menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), biaya logistik di Indonesia ada di 14,29% PDB. Ini lebih tinggi dari negara-negara tetangga seperti Malaysia (13%) dan Singapura (8%).

Ketika biaya logistik naik, maka pada akhirnya akan tercermin di harga barang yang harus dibayarkan konsumen. Jika harga di tingkat konsumen naik, maka inflasi akan ikut naik. Daya beli rakyat pun tercekik.

Masalah penurunan daya beli sepertinya tengah dihadapi oleh Indonesia. Ini tercermin dari inflasi inti yang terus melambat.

Pada Januari, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi inti ada di 1,68% year-on-year (yoy). Ini menjadi yang terendah sejak Desember 2021.

Inflasi Inti Indonesia (Sumber: BPS, Bloomberg)

Celakanya, inflasi inti menunjukkan kekuatan daya beli rakyat. Perlambatan inflasi inti menjadi indikasi bahwa terjadi pelemahan daya beli.

Berdasarkan kajian Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), perlambatan daya beli rakyat Indonesia sudah terlihat. Dari pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), Indonesia ada di US$ 4.934,26/kapita/tahun pada 2022. Pada 2023, angkanya turun menjadi US$ 4.882,52/kapita/tahun dan tahun ini diperkirakan turun lagi ke US$ 4.786,39/kapita/tahun.

Sumber: OECD

"Pola konsumsi masyarakat sudah defensif di mana porsi terbesar itu untuk belanja makanan. Itu ciri ekonomi yang melambat. Kita bisa lihat ada kemungkinan tekanan dari konsumsi," kata Chatib Basri, Ekonom Senior Universitas Indonesia dan mantan Menteri Keuangan, beberapa waktu lalu.

Defisit APBN Bisa Bengkak

Selain mengancam daya beli melalui penurunan atau bahkan pencabutan subsidi energi, program makan siang dan susu gratis juga bisa menggoyang stabilitas fiskal. Jika tidak ada perbaikan penerimaan negara, maka defisit APBN berisiko membengkak.

“Untuk membiayai IKN (Ibu Kota Nusantara) dan makan siang gratis, maka bisa saja defisit APBN dilebarkan hingga lebih dari 3% PDB dan rasio utang di atas 60% PDB. Namun ini tentu membutuhkan waktu, mungkin 2-3 tahun untuk proses legislasi, termasuk konsolidasi politik,” sebut Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, dalam risetnya.

Dalam UU Keuangan Negara, defisit APBN memang dibatasi maksimal 3%. Pada masa pandemi, defisit APBN memang sempat dilebarkan, dan itu membutuhkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).

Dalam UU yang sama, rasio utang pemerintah terhadap PDB harus tidak boleh lebih dari 60%. Per akhir 2023, utang pemerintah ada di Rp 8.144,69 triliun atau setara dengan 38,59% PDB.

(aji)

No more pages