"Analisis komparasi Indonesia dengan negara lain menunjukkan bahwa Indonesia belum memenuhi syarat yang perlu dan cukup untuk menuju negara berpendapatan tinggi seperti layaknya China, Malaysia, Korea Selatan, Thailand dan Brasil ketika mereka pertama kali masuk dalam kelompok upper middle income (negara kelas menengah atas)," tulis Teguh Dartanto dan Canyon K. Can dari LPEM UI dalam studinya berjudul "Menavigasi Jalan Indonesia Menuju 2045: Kesetaraan dan Mobilitas Ekonomi, dikutip hari Jumat (16/2/2024).
Salah satu poin mendasar yang disoroti oleh peneliti adalah kebijakan ekonomi Jokowi saat ini cenderung melupakan kelas menengah. Kebijakan ekonomi terlalu berfokus pada 10% kelompok teratas dan 20% kelompok terbawah, terutama pada periode kedua pemerintahan Jokowi.
Baca juga: Kelas Menengah RI: Rentan dan Terbaikan
Mengacu pada kajian terhadap Growth Incidence Curve yang memberi gambaran pertumbuhan kesejahteraan masing-masing kelompok pendapatan di Indonesia selama periode 2000-2022, terlihat bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia selama ini hanya berat pada kelompok kaya.
Periode Presiden Megawati Soekarnoputri 2000-2004, misalnya, GIC memiliki kemiringan positif di mana kelompok terkaya mengalami pertumbuhan ekonomi atau kesejahteraan dua kali lebih besar dibandingkan kelompok termiskin. Pola yang sama terlihat pada era kepemimpinan Presiden SBY periode pertama, dengan pertumbuhan lebih rendah.
Adapun pada era SBY periode kedua, terlihat pertumbuhan ekonomi berjalan sangat tidak inklusif di mana kesejahteraan kelompok terkaya yang mencatat pertumbuhan 8% per tahun, tumbuh 4 kali lebih cepat dibandingkan kesejahteraan kelompok termiskin yang hanya tumbuh 2% per tahun. Tidak mengherankan bila selama periode kedua SBY, ketimpangan meningkat terindikasi dari angka Rasio Gini yang naik dari 0,367 pada 2009 menjadi 0,414 pada 2014.
Pada era Jokowi periode pertama, kelas menengah menikmati pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan kelompok termiskin dan terkaya sehingga angka Gini Ratio bisa diturunkan menjadi 0,380 pada 2019.
Namun, pada periode kedua Jokowi, pertumbuhan ekonomi tidak lagi inklusif di mana manfaat kebijakan atau program pemerintah terfokus hanya pada 20% kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas. Pada saat yang sama, kelompok kelas menengah yang proporsinya mencapai 40%-80% dilupakan, demikian ditulis oleh peneliti. Bahkan, kelompok 60%-80% mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
Ini yang terlihat dalam kebijakan bantuan sosial (bansos) yang gencar digerojok terutama sejak pandemi Covid-19 melemahkan perekonomian.
Bansos dalam berbagai bentuk dan program yang memakan biaya hingga Rp476 triliun tahun lalu, tidak mampu mendongkrak pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,82% pada 2023, turun dibanding tahun sebelumnya yang tumbuh 4,94%. Itu karena bansos terbatas menyasar kelas bawah dan ditujukan sekadar untuk menahan agar daya beli kelompok rentan tidak semakin terpuruk.
Sementara kelas menengah yang menyumbang konsumsi domestik lebih besar, sekitar 43% dari total konsumsi nasional, tidak tersentuh kebijakan yang mampu meningkatkan kinerja konsuminya. Kelas ini terlihat 'dibiarkan' bertarung di tengah tekanan harga pangan yang terus melonjak dan pajak yang tinggi.
Pengalaman negara lain
Menurut kajian yang sama, sebuah negara membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, resilien dan berkelanjutan agar bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan atas. Untuk kesana, dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yang baik, stabilitas sosial politik, institusi inklusif dan faktor sosial budaya yang mendukung. Kesemua itu menjadi syarat perlu (necessary condition).
Sementara syarat cukup yang dibutuhkan agar menjadi negara upper middle income, di antaranya adalah inovasi teknologi, infrastruktur yang baik, perdagangan internasional yang aktif dan kebijakan ekonomi efektif dan prudent.
Nah, sudah di mana Indonesia mengacu pada syarat perlu dan cukup tersebut? Berkaca pada perbandingan kondisi sosial ekonomi Indonesia dengan beberapa negara berpendapatan menengah atas seperti China, Brasil, Thailand dan Malaysia, juga negara yang berhasil keluar dari kondisi middle income trap yakni Korea Selatan, posisi Indonesia saat ini sepertinya masih jauh.
Kondisi Indonesia pada pada 2022 dengan pendapatan per kapita US$ 4.580 adalah setara dengan Korea Selatan pada 1988, Malaysia pada 2004, Brasil pada 2006 dan China serta Thailand pada 2010. "Dalam waktu 18 tahun, Malaysia belum mampu keluar dari middle income trap, sedang Thailand selama 12 tahun juga belum mampu menggandakan pendapatan," tulis Teguh dan Canyon.
Malaysia kini mengejar target menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2030. Hanya China yang dinilai mampu keluar dari middle income trap dalam waktu 13 tahun.
Kondisi Indonesia saat ini masih jauh berbeda dengan negara-negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan misalnya mencapai 12%, lalu China 10,6%, Malaysia 6,8% dan Thailand 7,5%. Angkanya jauh di atas Indonesia yang hanya di kisaran 5%, bahkan 10 tahun ini hanya 4,23% per tahun.
"Kemajuan ekonomi negara-negara tersebut kecuali Brasil ditopang oleh sektor manufaktur dimana kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB sebesar 28% di Korea Selatan, 30% di Malaysia, dan 32% di China. Rasio ekspor negara-negara itu juga tinggi," jelas peneliti.
Sementara Indonesia justru mengalami deindustrialisasi prematur yang ditunjukkan dari kian kecilnya proporsi sektor manufaktur terhadap perekonomian.
Perlu terobosan baru
Para akademisi dan ekonom menilai, narasi keberlanjutan tanpa inovasi bersifat out of the box terhadap kebijakan pembangunan pemerintah saat ini sebaiknya dikaji ulang karena malah akan menjauhkan mimpi Indonesia Emas 2045. "Pemerintah harus fokus pada pengembangan kelas menengah yang kuat dan inovatif karena mereka adalah motor utama pembangunan jangka panjang," kata peneliti UI.
Di antaranya dengan berinvestasi membangun sumber daya manusia agar bisa merangsang kelahiran bakat-bakat yang bersaing melalui pembukaan kesetaraan akses pendidikan dan kesehatan.
Perluasan lapangan kerja sektor formal yang lebih besar juga menjadi hal dibutuhkan selain terus memperbaiki infrastruktur dasar dan jaminan sosial yang memadai.
"Kami khawatir bahwa obsesi berlebihan terhadap Mimpi Indonesia 2045 menjadi negara kaya akan mengubah orientasi kebijakan pemerintah serta alokasi sumber daya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata melalui investasi besar-besaran pada sektor padat modal. Pertumbuhan ekonomi tinggi tidak serta merta akan mengurangi kemiskinan jika mesin pertumbuhan dimotori oleh sektor-sektor di mana kelompok miskin dan rentan kurang terlibat," jelas peneliti.
Ini yang terlihat pada 2023 di mana realisasi investasi tumbuh cukup tinggi mencapai Rp1.418,9 triliun menurut data yang dilansir oleh Kementerian Investasi. Namun, capaian itu tidak berbanding lurus dengan penciptaan lapangan kerja yang signifikan.
Penyerapan tenaga kerja hanya sebanyak 1,82 juta orang. Penyerapan tenaga kerja yang rendah di kala investasi tumbuh itu salah satunya adalah karena investasi yang masuk kebanyakan di industri padat modal, bukan padat karya, seperti dinyatakan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahdalia.
Sementara jumlah penduduk yang menganggur dan masih membutuhkan pekerjaan lebih layak mencapai 25,08 juta orang, semakin besar dibandingkan satu dekade silam ketika angkanya baru di kisaran 17,72 juta orang pada 2014.
(rui)