Logo Bloomberg Technoz

Peran pemerintah dalam distribusi makin tergerus karena ketiadaan data distribusi beras, sehingga sulit untuk mendeteksi dan melacak pergerakan beras tersebut.

Beras putih./Bloomberg-Veejay Villafranca

Dalam kaitan itu, Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini memang memiliki data produksi di tingkat petani, tetapi basis data yang diperlukan tidak cukup hanya mengandalkan data tersebut.

“Karut-marutnya tata niaga perberasan nasional ini karena ketiadaan data. BPS memiliki data produksi tingkat petani, tetapi juga dibutuhkan data sepanjang rantai pasok komoditas pangan. Data beras di tingkat penggilingan dan gudang itu belum sepenuhnya dapat ditelusuri. Hal serupa juga terjadi di komoditas pangan lainnya,” ujar Eliza.

Ketiadaan data di tingkat produksi dan di sepanjang rantai nilai pada komoditas pertanian, lanjut Eliza, berpotensi mengundang oknum tertentu untuk mengambil keuntungan, memicu upaya spekulasi sehingga harga naik secara tidak alami (artifisial) dan mengerek inflasi.

Dengan demikian, Eliza berharap pemerintah petahana dalam rentang jabatannya yang sempit tahun ini meningkatkan upaya dalam memastikan kelancaran distribusi dan menindak tegas oknum yang melakukan spekulasi  

“Semestinya pembuatan basis data pangan ini dilakukan selama Jokowi menjabat 2 periode. Berharap presiden terpilih ke depan mengutamakan pembuatan basis data pertanian di setiap rantai pasoknya,” ujarnya.

Presiden Jokowi mengikuti panen raya padi di Desa Ciasem Girang, Subang, Jawa Barat, Minggu (8/10/2023). (Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev)

Komunikasi Tak Transparan

Berbeda perspektif, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai komunikasi publik yang buruk dari pemerintah soal defisit beras menjadi penyebab dari kekacauan di sektor pangan strategis tersebut.

Penyebabnya, kata Dwi, selama ini pemerintah selalu menggembar-gemborkan ihwal defisit produksi beras sebesar 2,8 juta ton pada Januari dan Februari 2024 tanpa pernah menjelaskan dengan lengkap makna di baliknya.

Hal ini menyebabkan kepanikan di masyarakat karena secara otomatis akan berusaha mengamankan persediaan masing-masing. Dengan demikian, harga beras naik imbas pasokan di pasar yang berkurang.

“Komunikasi yang buruk menyampaikan tanpa memberikan penjelasan apapun. Komunikasi penting karena kalau kita lihat di berbagai berita, pejabat mengatakan bahwa Januari defisit 1,2 juta ton dan Februari defisit 1,6 juta ton. Seolah-olah kita kekurangan beras 2,8 juta ton. Itu kemudian menyebabkan situasi panik di pasar,” ujar Dwi saat dihubungi Bloomberg Technoz.

Defisit beras, padahal, bukan berarti Indonesia memiliki pasokan nasional yang lemah. Menurut Dwi, defisit merupakan hasil dari jumlah produksi pada bulan yang bersangkutan dikurangi konsumsi pada bulan yang bersangkutan. Kondisi defisit memang lazim terjadi pada setiap tahun pada Mei dan Agustus.

“Saya melihat harga gabah kering panen [GKP] di tingkat usaha tani sejak September perlahan-lahan sudah turun, lalu tiba-tiba pada Januari melonjak lagi sebab efek psikologis pasar yang disebabkan pemerintah salah mengkomunikasikan,” ujarnya. 

Defisit beras tidak sama dengan pengurangan stok beras nasional. Menurut perhitungan Dwi, stok nasional beras Indonesia pada awal 2024 diproyeksikan naik menjadi 6,71 juta ton dibandingkan 4 juta ton pada 2023. Dwi juga mengutip data Badan Pangan Nasional yang mengatakan bahwa stok beras nasional mencapai 7,4 juta ton.

Komunikasi yang buruk juga dibarengi dengan keputusan impor yang dianggap serampangan. Sebab, keputusan untuk impor beras di 2024 sudah diputuskan sejak 2023.

“Desember 2023 diputuskan impor untuk 2024 awalnya 2 juta ton lalu kemudian ada pernyataan dari Menteri Perdagangan [Zulkifli Hasan] sudah kontrak Thailand 2 juta dan India 1 juta ton, jadi 3 juta ton,” jelasnya.

Keputusan impor yang serampangan, kata Dwi, juga merugikan petani karena harga GKP diproyeksikan jatuh hingga di bawah Rp5.000/kg dari harga yang saat ini berada di atas Rp7.000/kg.

Biaya produksi padahal mencapai Rp5.667/kg sehingga petani bakal merugi bila GKP jatuh hingga di bawah Rp5.000/kg. 

(dov/wdh)

No more pages