Direktur Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widayanto pun juga menilai bahwa anjloknya harga nikel dipicu oleh jorjoran proyek pabrik pengolahan atau smelter komoditas tersebut di Indonesia, alih-alih isu kebablasan produksi dari negara ini.
Meski demikian, Djoko mengatakan, anjloknya harga pasar nikel sedianya disebabkan oleh surplus neraca pasar nikel dunia yang mencapai 250 kiloton pada tahun ini.
“Namun, penyebab utamanya adalah pertumbuhan smelter di Indonesia. Seandainya pertumbuhan smelter bisa direm sedikit, pasti akan sangat membantu mencegah penurunan harga nikel,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz.
Meski demikian, Djoko pun tetap menggarisbawahi pemerintah perlu menjaga keseimbangan neraca cadangan dan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), khususnya dalam pertambangan nikel.
Hal itu akan meminimalisasi risiko terjadinya produksi ugal-ugalan di tengah upaya RI yang sedang membangun industri domestik berbasis penghiliran dari usaha ekstraksi sumber daya alam (SDA) alias pertambangan melalui komoditas tersebut.
Nikel,mineral logam primadona era transisi energi itu tengah memperpanjang kemerosotan selama setahun terakhir karena meningkatnya pasokan dari Indonesia menyebabkan kelebihan pasokan.
Harga nikel di London Metal Exchange (LME) hampir turun setengahnya dalam setahun terakhir. Bahkan, tambang-tambang nikel di seluruh dunia pun berisiko ditutup, sementara tambang-tambang lain meminta dana talangan negara atau bangkrut.
Consultancy Benchmark Mineral Intelligence memperkirakan diperlukan pengurangan produksi lebih dari 250.000 ton untuk menyeimbangkan pasar nikel global tahun ini.
(ibn/wdh)