Bloomberg Technoz, Jakarta - Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) meminta para pengusaha sektor jasa hiburan tertentu untuk membayar pajak hiburan dengan tarif lama, selama proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) masih berjalan.
Permintaan ini disampaikan melalui Surat Edaran Nomor 091/DPP GIPI/II/022024. Surat ditandatangani oleh Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani dan Sekretaris GIPI Pauline Suharno.
Dalam surat edaran dijelaskan, hal tersebut dilakukan agar dapat menjaga keberlangsungan usaha hiburan diskotik, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap/spa terhadap kenaikan tarif yang akan berdampak pada penurunan konsumen.
Lebih lanjut, Hariyadi Sukamdani menjelaskan, hingga kini kepala daerah sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan diskresi atau insentif fiskal belum juga memberikan kebijakan tersebut kepada para pelaku jasa hiburan tertentu.
“Jadi sikapnya GIPI, karena ini masih berproses kita membayar dengan tarif lama itu. Kenapa begitu? karena kalau tidak diambil suatu sikap bersama kasian nanti teman-teman akan menghadapi masalah, pasti akan masalah dengan operasionalnya, sehingga kita keluarkan itu,” ujar Hariyadi saat dihubungi Bloomberg Technoz, Selasa (13/2/2024).
“Ini jadi pegangan, karena pemda sampai saat ini belum ada yang katanya mau memberikan kebijakan khusus tadi insentif fiskal ga keluar-keluar sampai hari ini. Harus ada sikap bersama ya, dari teman-teman jasa usaha hiburan itu,” lanjutnya.
Selain itu, Hariyadi juga menjelaskan, pembayaran pajak hiburan dengan tarif lama itu tentunya akan menjadi sebuah permasalahan. Karena, besaran pajak yang ditagihkan dengan besaran pembayaran yang dilakukan akan berbeda.
Namun, ia menegaskan, langkah ini merupakan salah satu tindakan terbaik yang dapat dilakukan pengusaha jasa hiburan tertentu agar usaha yang mereka miliki dapat beroperasional dan tidak berujung bangkrut.
“Ya pasti bermasalah, kan mereka nagihnya berapa bayarnya berapa. tapi gapapa, sambil menunggu proses uji materinya kan. Nanti kalau uji materinya kita insyaallah bisa berhasil berarti yaudah nanti dikoreksi nantinya.
Terakhir, ia menjelaskan bahwa dengan besaran tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yang diatur dalam UU HKPD Nomor 1 Tahun 2022 sebesar 40%-75%, dapat membuat kewalahan para pengusaha hiburan. Selain itu, Haryadi menilai proses perancangan aturan tersebut tidak memenuhi prosedur yang ada.
“Tidak ada konsultasi publik, tidak ada pembahasan yang lebih mendalaman mengeni mengapa menggunakan pajak dengan batas bawah 40-75%, tidak ada pembahasan kenapa harus didiskriminasi, ditambah lagi tidak ada sosialisasi,” ujar Hariyadi.
Oleh karena itu, Hariyadi menegaskan, melalui Surat Edaran tersebut, GIPI menyerukan kepada pengusaha jasa hiburan untuk membayarkan tarif pajak hiburan sesuai dengan tarif lama.
(azr/lav)