Namun Rahmat tidak menjelaskan lebih lanjut keadaan tidak terduga seperti apa yang akhirnya berimbas pada terkendalanya pengiriman kargo LNG tersebut.
"PGAS merupakan subholding dari Pertamina. Sebagai wujud pelaksanaan tugas subholding, akan dilaksanakan alih bisnis LNG milik Pertamina kepada PGAS," katanya.
Kondisi tersebut yang membuat PGN (PGAS) mengumumkan kondisi force majeure pada 3 November 2023.
Risiko Denda Rp5 T imbas Force Majeure PGAS
Berdasarkan perhitungan CGS-CIMB, (PGAS) PGAS berpotensi terkena denda US$360 miliar atau setara sekitar Rp5,62 triliun.
Sementara, menurut Rachmat, manajemen PGN (PGAS) telah memiliki perhitungan provisi yang juga mencakup pembayaran denda tersebut.
"Secara paralel, PGN sudah melakukan perhitungan atas berbagai opsi untuk pelaksanaan kontrak Gunvor ini," kata Rachmat.
Secara terpisah, analis CGS-CIMB Bob Setiadi mendasari perhitungannya berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2023. Pada periode ini, PGN (PGAS) memiliki kontrak 8 kargo LNG per tahun ke Gunvor.
"Dengan asumsi harga minyak mentah sepanjang tahun ini di kisaran US$82/barel, kami memperkirakan nilai total per kargo US$34 juta dan secara teori maksimal penalti yang dikenakan bisa mencapai US$360 juta (setara sekitar Rp5,62 triliun)," jelasnya, dikutip Selasa (13/2/2024).
Bob menambahkan, sepanjang periode kuartal IV-2022 hingga kuartal III-2023 menerima provisi atau penyisihan kontrak LNG US$61 juta, yang menurut Bob mengasumsikan harga gas Japan/Korea Marker (JKM) sebesar US$12/mmbtu. Sedang harga saat ini sekitar US$10,1/mmbtu.
"Kami menghitung, setiap kenaikan JKM US$0,5/mmbtu, PGAS perlu menyediakan tambahan provisi US$49 juta untuk kontrak bersama Gunvor, setara 19% dari perkiraan laba bersih PGAS tahun ini," terang Bob.
(mfd/dhf)