Hasil survei sejauh ini memang lebih banyak mengunggulkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming sebagai pemenang pilpres. Beberapa survei bahkan memprediksi satu putaran bisa terjadi di tengah keraguan yang kuat atas kredibilitas survei.
Akan tetapi, dugaan kecurangan sistematis yang telah dilakukan jauh sebelum 14 Februari dan memuncak saat putusan nomor 90 Mahkamah Konstitusi keluar Oktober lalu, seperti dipaparkan dalam dokumenter 'Dirty Vote', berpotensi menurunkan legitimasi hasil pemilu apabila pasangan calon yang di-endorse oleh istana, keluar sebagai pemenang.
Alhasil, pelaku pasar seolah dihadapkan pada dua opsi yaitu, satu putaran dengan legitimasi rendah atau dua putaran dengan potensi bobot legitimasi lebih kuat. Keduanya sama-sama memberikan porsi ketidakpastian yang besar, akan tetapi opsi pertama dampak ketidakpastiannya akan lebih sulit diprediksi.
Ketidakpastian hasil pemenang pilpres sudah pasti membayangi pergerakan nilai tukar rupiah dan arah gerak saham serta pasar obligasi dalam jangka pendek ini.
"Bila pilpres selesai dalam satu putaran, rupiah bisa stabil di kisaran Rp15.400-Rp15.600/US$. Sebaliknya, bila dua putaran, rupiah mungkin akan bergerak ke Rp16.000-Rp16.500/US$. Intervensi Bank Indonesia akan bergantung pada seberapa besar reaksi pasar [terhadap hasil pilpres]," kata Fixed Income and Market Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Prayadi.
Analis tidak menampik kemungkinan risiko yang lebih besar apabila hasil pilpres satu putaran memiliki legitimasi yang rendah dan memicu ketidakpastian lebih tinggi. "Akan tetapi, bagaimana memantaunya [legitimasi rendah]? Itu pertanyaan utama para analis pasar. Sehingga pelaku pasar hanya bisa menunggu terjadinya ledakan mendadak," kata Lionel.
Posisi Bank Indonesia (BI) akan sangat krusial dengan posisi cadangan devisa RI sudah sempat terkuras hingga US$ 1,3 miliar pada Januari lalu ketika rupiah tertekan isu keretakan kabinet. Saat ini posisi cadangan devisa sebesar US$ 145,1 miliar, masih memadai menahan tekanan jangka pendek.
Posisi investor asing di pasar surat utang saat ini juga sudah tidak dominan, tak sampai 15%. Ini berbeda dengan situasi ketika rupiah terperosok ke Rp16.575/US$, kala pandemi Covid-19 pecah pada 2020 lalu. Ketika itu, rupiah ambles karena modal asing keluar dari pasar obligasi sangat besar. Ketika itu kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) mencapai 40% dan berkurang sampai tinggal 15% saat ini sebesar Rp842,67 triliun.
Para pengelola dana global juga sudah bersiap bila pilpres berlangsung dua putaran, di mana itu berarti pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan stagnan di kisaran saat ini sampai Juni nanti.
"Jika terjadi dua putaran, pasar akan terikat di kisaran [saat ini] sampai Juni nanti sembari para investor menilai langkah-langkah politik yang akan diambil," kata Mohit Mirpuri, seorang pengelola dana global di SGMC Capital yang berbasis di Singapura, seperti dilansir Bloomberg News, Selasa (13/2/2024).
Selama hampir sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, IHSG telah menguat 45% dan mencatat all time high pada awal Januari lalu.
Tahun ini, IHSG berpeluang menyentuh 7.500 menurut Rajiv Batra, Asia Equity Strategist di JPMorgan Chase & Co. Faktor pemilu belum mengubah prediksi bank investasi tersebut. Dengan kata lain, satu atau dua putaran dan siapapun pemenangnya nanti, IHSG tetap berpeluang memperbarui rekor tertinggi tahun ini.
Sektor Saham Favorit
Sektor perbankan dan konsumer masih menjadi favorit para investor di mana keduanya akan banyak diuntungkan ketika pemilu dan pilpres berlangsung mulus dan damai.
Citigroup merekomendasikan sektor ini melihat prospek pertumbuhan kredit di Indonesia dan kualitas aset yang baik, terutama untuk BBRI, BMRI, BBNI dan BBCA. Citi memprediksi IHSG bisa menyentuh 7.750 pada Juni nanti.
Sementara JPMorgan, bank investasi besar global, mengunggulkan sektor konsumer sebagai sektor yang akan berkibar tahun ini.
Pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia diperkirakan melampaui US$ 5.000 tahun ini sehingga memberi dorongan bagi emiten sektor konsumer seperti PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), lalu PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), dan produsen makanan seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Mereka akan mendapatkan keuntungan terbesar dari potensi pertumbuhan konsumsi domestik yang lebih tinggi, menurut analis JPMorgan Henry Wibowo.
"Kami perkirakan gelombang baru konsumsi dan pengeluaran di masa yang akan datang. Konsumen di Indonesia akan membelanjakan lebih banyak uang untuk kategori produk konsumen baru dalam dekade mendatang seiring peningkatan pendapatan per kapita," kata Henry dalam catatan yang dilansir Januari lalu.
Di sisi lain, upaya hilirisasi nikel dan ambisi Indonesia menjadi pusat produksi baterai, juga akan memberi dorongan besar pertumbuhan ekonomi, menurut kajian analis Bloomberg Intelligence Maria Ellen Olson.
(rui/aji)