"Kalau sekarang kan udah ada istilahnya itu segmentasi market di voters itu. Dan kebetulan voters Indonesia itu 56% gen Z dan gen Y. Ada pemilih yang cukup besar. Jadi ceruk pemilih di generasi muda sangat besar diatas 56%," kata Panji kepada Bloomberg Technoz bulan lalu.
Efektivitas
Seberapa besar efektivitas dan dampak ke elektoral kata Panji memang harus dihitung lebih lanjut. Namun demikian, platform media sosial seperti Tiktok yang digemari kalangan muda jelas kata dia menjadi saluran media yg efektif.
"Karena efektifnya bisa dilihat dari si kandidatnya yang tidak harus keluar biaya yang besar. Dia cukup membentuk tim, bikin platform, kemudian siaran secara live atau enggak," kata dia.
"Kemudian juga lebih efisien dari sisi voters tentu lebih mudah juga untuk mengaksesnya asal punya kuota. Mau punya akun Tiktok atau bahkan kalau tidak, orang itu bisa liat videonya secara terbuka," imbuh dia.
Dilirik Joe Biden
Tak hanya di Indonesia, TikTok juga mulai dilirik di Pemilu AS. Calon petahana yang juga calon kuat dari Partai Demokrat, Joe Biden juga telah meluncurkan akun TikTok dalam upaya untuk menjangkau para pemilih yang lebih muda.
Langkah ini dilakukan ketika platform video berdurasi pendek yang populer ini menghadapi kekhawatiran atas hubungannya dengan China.
Ini adalah pertama kalinya Biden bergabung dengan TikTok dalam kapasitas resmi, meskipun Gedung Putih dan kampanyenya sebelumnya telah berusaha menjangkau para pemilih dengan wawancara oleh para influencer dan perusahaan media yang digerakkan oleh media sosial, seperti NowThis.
Langkah ini mencerminkan strategi media yang lebih luas dari kampanye yang tidak terlalu bergantung pada media tradisional dan berupaya menjangkau pemilih muda yang lebih cenderung menerima informasi melalui aplikasi, termasuk Instagram, YouTube, dan X. Komite Nasional Partai Demokrat, yang bekerja sama dengan kampanye tersebut, bergabung dengan platform ini pada tahun 2022.
Langkah ini tentu menjadi pertanyaan dari publik, karena TikTok telah terlibat dalam kontroversi di Washington.
Anggota parlemen dari kedua partai menyatakan keprihatinannya bahwa kepemilikan aplikasi oleh ByteDance Ltd yang berbasis di Beijing menimbulkan risiko keamanan data.
Gedung Putih belum secara terbuka menyatakan sikap apakah platform ini harus dilarang di AS, seperti yang didesak oleh beberapa anggota Kongres, meskipun FBI dan badan-badan lain telah memperingatkan tentang potensi kerentanan data.
Senator Partai Republik Josh Hawley dari Missouri, yang bertugas di komite Keamanan Dalam Negeri dan Urusan Pemerintahan dan sebelumnya telah menyerukan pelarangan aplikasi tersebut, mengkritik keputusan kampanye Biden.
"Kampanye Biden membual tentang penggunaan aplikasi mata-mata China meskipun Biden menandatangani undang-undang yang melarangnya di semua perangkat federal," tulis Hawley di X, platform media sosial yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.
(spt)