Bloomberg Technoz, Jakarta - Ahli Gizi Masyarakat, Tan Shot Yen menggangap Indonesia belum perlu meniru kebijakan yang dibuat Menteri Kesehatan Singapura yakni melabeli nilai kandungan nutrisi atau nutrisi grade di setiap minuman cepat saji dalam upaya memerangi diabetes.
"Kayaknya Indonesia, nggak deh tempat nego. Saya ga berharap Indonesia kek gitu, soalnya ekstream kan itu," kata Tan dalam siaran Instagram Kementerian Kesehatan belum lama ini.
Meski begitu, Tan mengapresiasi kebijakan Menkes Singapura karena konsumen bisa jeli melihat kandungan nutrisi pada minuman siap saji. "Semua minuman dikasih label, itu keren banget," ungkapnya
Ia pun menyebutkan jenis gula yang menjadi bumbu kasta makanan dan bisa ditoleransi untuk dikonsumsi.
"Gula merah, bumbu kasta makanan, masih bisa diterima makanan lokal,"ujar Tan.

Gula lain yang sebaiknya dihindari untuk dikonsumsi ialah melalui proses gula rafinasi atau biasa dikenal dengan gula putih.
Kemudian gula jagung di dalam kemasan-kemasan seperti biskuit, cokelat. "Ini luar biasa bahaya gizi, kalau gizi luar negeri bisa dihujat ramai-ramai," beber Tan
Tan pun memiliki harapan agar ibu rumah tangga sebagaimana mestinya bisa sadar memberikan makanan-minuman yang berimbang dan bergizi, terutama dalam penggunaan gula sebagai bumbu masakan tidak dianjurkan.
"Saya berharap memanggil ibu-ibu biar sadar, anak sama keluarga diberikan makan benar kaga. Jangan masakan dicampur gula, yang benar garam atau lada," tegas Tan
Sebelumnya, Singapura memiliki permasalahan serius akan penyakit diabetes dan diprediksi akan meningkat pada tahun 2050, yaitu sekitar 1 juta orang. Maka dari itu Kementerian Kesehatan Singapura mengambil langkah yakni melabeli nutrisi atau nutri grade pada setiap minuman siap saji, seperti boba dan teh.
Dengan kebijakan tersebut diharapkan konsumen bisa meilhat kandungan nutrisi yang baik atau tidak baik. Label yang diberi penilaian A masuk dalam kategori minuman sehat kemudian untuk nilai D termasuk kategori minuman mengandung gula tinggi atau lemak jenuh.
Selain itu konsumen bisa diharapkan tak memiliki kepercayaan lagi terhadap preferensi iklan sehingga lebih terinformasi, lebih sehat dan mendorong reformulasi industri.
(dec/spt)