Di sisi lain, Todung justru menganggap bahwa apa yang disampaikan dalam film tersebut menggambarkan realita soal pelanggaran pemilu yang sudah terjadi dan yang potensial akan terjadi pada 14 Februari mendatang.
Todung mencontohkan, adanya intimidasi yang didapatkan kepala desa hingga politisasi bantuan sosial beras untuk kepentingan Pemilu 2024.
“Kalau kita concern dengan bagaimana nanti penyebaran 20% suara, ada kaitannya juga dengan kebijakan membuat Papua menjadi enam provinsi. Banyak hal-hal yang positif yang kita bisa liat dalam film. Walaupun Anda tentu boleh tidak setuju dengan film ini, (tetapi) saya pikir film ini adalah film pendidikan politik yang bagus,” ujarnya.
Dirinya kembali menggarisbawahi peran film Dirty Vote sebagai pendidikan politik agar masyarakat memiliki pemahaman mengenai dinamika politik di Indonesia. Sehingga, mengajak tim dan paslon untuk tidak marah ketika dikritik dan membuat laporan ke kepolisian yang dinilai bakal menghancurkan demokrasi di Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris TPN Ganjar-Mahfud, Hasto Kristiyanto membantah adanya kampanye terselubung yang dilakukan oleh menteri-menteri Partai PDI Perjuangan seperti yang disampaikan melalui film Dirty Vote.
Menurut Hasto, menteri-menteri PDI Perjuangan tetap komitmen dalam melaksanakan tugas. Misalnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) Abdullah Azwar Anas yang tetap melaporkan hal-hal yang berkaitan penyalahgunaan yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga Menteri Sosial Tri Rismaharini yang justru mempertahankan untuk menggunakan data yang benar dalam bansos.
“Justru ketika (Mensos) Risma kokoh di dalam menjaga data benar-benar untuk orang miskin kemudian ada kepentingan politik lain kemudian Bu Risma tidak dilibatkan. Ini harus dikawal karena pengalaman yang lalu, kedudukan Mensos sangat penting. Berada di tangan salah itu penyalahgunaan bisa luar biasa jelang pemilu,” pungkasnya.
(dov/ros)