Bukan cuma SVB yang memiliki eksposur US Treasury dalam nilai besar dan terpaksa menghadapi penurunan harga akibat bunga acuan yang terus melejit. Mengutip Bloomberg, perbankan di AS memiliki sedikitnya US$ 300 miliar obligasi US Treasury yang dipegang jatuh tempo (hold-to-maturity) hingga akhir 2022. Dengan laju pengetatan yang agresif oleh The Fed sejak tahun lalu, perbankan di negeri paman sam menghadapi fakta bahwa nilai obligasi mereka telah terpuruk.
Demi menjaga kepercayaan nasabah bank agar tidak terpicu aksi rush (penarikan dana besar-besaran), otoritas keuangan dan moneter di AS langsung pasang badan. The Fed merilis kebijakan baru yang diharapkan bisa menenangkan bank-bank yang gelisah menghadapi turbulensi akibat keruntuhan tiga bank tersebut.
Otoritas moneter memperkenalkan BTFP yang merupakan singkatan dari Bank Term Funding Program. Program senilai US$ 25 miliar atau setara Rp 384,27 triliun itu memungkinkan bank meminjam dana dari bank sentral memakai obligasi pemerintah yang mereka miliki sebagai jaminan dan menghargainya di harga par atau 100.
Mengguyur likuiditas
Bagi The Fed yang masih berhadapan dengan tantangan menaklukkan inflasi di AS, kejatuhan tiga bank dalam waktu beruntun menjadi rem yang pakem untuk mengkaji ulang arah kebijakan moneternya. Bukan hanya bagi Fed, tapi juga bagi bank sentral di negara-negara maju.
“Secara efektif, ini berarti walau tidak ada perkembangan dalam inflasi, Fed dan bank sentral lain di negara maju tidak bisa menaikkan bunga dan menormalkan neraca mereka. Lebih buruk lagi, mereka sekarang dipaksa menurunkan bunga acuan,” jelas Satria.
Kepercayaan terhadap sistem perbankan dan keuangan yang tengah berada di titik rapuh menuntut perlakuan hati-hati agar jangan sampai meledak menjadi kekacauan yang fatal. Otoritas dihadapkan pada pilihan yang sulit. Sebagai gambaran, total simpanan SVB yang tidak diasuransikan mencapai US$ 150 miliar di mana nilai itu setara dengan dua bulan Quantitative Tightening (QT) The Fed.
Ketika bank sentral berusaha menekan inflasi dan meredam permintaan domestik, mereka seharusnya menguras likuiditas itu. Bukan memastikan ketersediaannya.
Satria Sambijantoro, Chief Economist Bahana Sekuritas
Federal Deposit Insurance (FDIC), Kementerian Keuangan AS dan Fed telah berulang memberi jaminan bahwa dana para nasabah di SVB tetap aman dan bisa diakses, kendati tidak memenuhi syarat mendapatkan penjaminan. Nyatanya, 90% simpanan di bank beraset US$ 211,7 miliar itu tidak mendapatkan asuransi FDIC. Nilai janji penjaminan itu sama halnya langkah pengguyuran likuiditas ke pasar, sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan apa yang telah dilakukan oleh Fed setahun terakhir ketika inflasi menggila ke level tertinggi dalam empat dekade.
“Ketika bank sentral berusaha menekan inflasi dan meredam permintaan domestik, mereka seharusnya menguras likuiditas itu. Bukan memastikan ketersediaannya,” ujar Satria.
Selasa pagi waktu setempat, Amerika akan mengumumkan tingkat inflasi Februari yang diprediksi akan melandai ke kisaran 6%, dari posisi 6,4% pada Januari 2023. Inflasi inti negeri paman sam itu masih “keras kepala” di level 5,6%. Dengan bunga acuan terakhir berada di level 4,75%, kerja The Fed untuk menjinakkan inflasi melalui pengetatan moneter sejatinya masih panjang. Namun, keruntuhan tiga bank jelas telah membalik cerita.
Fed berada dalam dua pilihan sulit: memprioritaskan penjangkaran inflasi mendekati target 2% dengan kebijakan yang konsisten atau memastikan sistem perbankan tetap berfungsi dengan baik tanpa risiko sistemik berlanjut.
BI akan bertahan
Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 15-16 Maret ini. Bank sentral yang bermarkas di MH Thamrin ini memiliki sejumlah alasan lebih kuat untuk mempertahankan BI7DRR di level 5,75%.
Ekonom Bloomberg Economics menyebut beberapa pertimbangan mengapa mempertahankan bunga acuan di level saat ini akan menjadi pilihan bank sentral. Pertama, laju inflasi domestik terus melandai di mana pada Februari lalu inflasi inti tercatat di bawah ekspektasi pasar di posisi 3,09%, dengan inflasi IHK tercatat 5,47% sedikit naik dari Januari sebesar 5,28% terdorong faktor musiman.
Kedua, langkah pengetatan moneter BI sejak Agustus 2022 dengan total kenaikan 225 bps telah membawa stabilitas pada nilai tukar rupiah. Kendati sejak beberapa waktu belakangan aksi jual menekan rupiah hingga terlempar ke posisi terlemah dalam dua bulan terakhir akibat sentimen bunga The Fed, rupiah sejauh ini masih menjadi mata uang terkuat di Asia selama 2023.
BI7DRR di level 5,75% masih positif dengan tingkat inflasi inti 3,09%. Ini berkebalikan dengan Fed di mana inflasi inti masih tinggi di 5,6% sedangkan Fed Fund Rate di 4,75%. “Divergensi ini bersama dengan surplus dalam neraca berjalan adalah sumber dukungan untuk kekuatan rupiah,” tulis tim Bloomberg Economics untuk Asia, Senin (13/3/2023).
Di sisi lain, tingkat konsumsi masyarakat yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia juga mendingin secara signifikan pada kuartal terakhir 2022. Pemulihan konsumsi swasta dan investasi di bandingkan masa sebelum pandemi masih cukup tinggi terdorong windfall komoditas. “Ini membantah lebih lanjut kebutuhan pengetatan moneter,” demikian menurut ekonom Bloomberg.
Chief Economist Bank Mandiri Faisal Rachman dalam catatannya berpandangan, inflasi domestik akan terus melandai mendekati target bank sentral meski saat musim perayaan Ramadan dan Lebaran akan ada kenaikan. Pada semester 1-2023 inflasi akan berkisar 4%-6% sebelum akhirnya akan terus melandai hingga akhir tahun didukung oleh berakhirnya dampak lanjutan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) tahun lalu. Alhasil, inflasi selama 2023 ia perkirakan akan berada di kisaran 3,6%. “Ini memberi ruang bagi BI untuk mempertahankan posisi BI7DRR,” jelasnya.
Investor asing mencetak net buy di pasar saham dalam perdagangan Senin kemarin, senilai Rp 29,9 miliar dan mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,32% ke posisi 6.787. Adapun nilai tukar rupiah beringsut ke posisi Rp 15.376 per dolar AS, menguat dibandingkan akhir pekan lalu yang penuh tekanan. Hari ini, pemerintah menggelar lelang dengan target penyerapan Rp 20 triliun. Perkembangan terakhir pasar diprediksi akan mendorong banyak investor memburu aset berisiko rendah seperti Surat Berharga Negara (SBN).
(rui/frg)