Logo Bloomberg Technoz

“Kalau lihat grafik, ini menunjukan HET sudah tidak efektif karena HET beras medium rata-rata Rp11.400/kg, tetapi di pasar sudah Rp15.000/kg. Pada waktunya nanti kita harus analisis."

Untuk diketahui, saat ini HET beras diatur dalam Peraturan Badan Pangan (Perbadan) Nasional Nomor 7 Tahun 2023 tentang Harga Eceran Tertinggi Beras.

Dalam perbadan tersebut, pemerintah mengatur HET beras berdasarkan zonasi. Untuk Zona 1 meliputi Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi, HET beras medium senilai Rp. 10.900/kg sedangkan beras premium Rp. 13.900/kg.

Sementara itu, untuk Zona 2 meliputi Sumatra selain Lampung dan Sumsel, NTT, dan Kalimantan, HET beras medium sebesar Rp. 11.500/kg dan beras premium Rp.14.400/kg.

Adapun, zona 3 meliputi Maluku dan Papua, HET beras medium sebesar Rp. 11.800/kg, dan untuk beras premium sebesar Rp. 14.800/kg. 

Harga beras pecah rekor tertinggi 15 tahun./dok. Bloomberg


Harga Acuan Tidak Wajar

Saat dihubungi Bloomberg Technoz, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa sepakat harga HET beras premium dan medium saat ini memang tidak wajar dan sudah sepatutnya direvisi.

Saat ini, menurutnya, harga gabah kering panen (GKP) sudah mencapai di atas Rp7.000/kg. Dengan demikian, GKP dengan harga di atas Rp7.000/kg menghasilkan beras premium di kisaran harga Rp15.000/kg atau di atas dari HET.

“Tidak mungkin harga GKP segitu menghasilkan beras premium Rp13.900/kg [sesuai HET]. Sebenarnya Rp13.900/kg itu harga di konsumen, masih dikurangi macam-macam, sehingga harga yang diterima pihak produsen hanya Rp13.500/kg. Bisa dibayangkan, bagaimana cara harga GKP di atas Rp7.000/kg, harga yang diterima produsen Rp13.500/kg? Jadi tidak masuk akal,” ujar Dwi.

Dengan demikian, Dwi setuju dengan wacana pemerintah yang membuka opsi untuk menaikan HET beras imbas kenaikan harga beras akhir-akhir ini. Namun, kata Dwi, pemerintah harus mengembangkan harga beli terendah (HBT) usaha tani yang bisa dijadikan salah satu komponen perhitungan dalam memutuskan HET beras.

HBT, kata Dwi, merupakan harga beli terendah untuk GKP dan beras pada tingkat usaha tani. Komponen perhitungan HBT terdiri dari biaya produksi riil, ongkos tenaga kerja, sewa biaya tanah dan tingkat keuntungan usaha tani.

Dwi menggarisbawahi HBT memiliki konsekuensi hukum, di mana bila ada penggilingan padi yang membeli di bawah HBT bisa mendapatkan konsekuensi hukum, sama seperti HET.

“HBT fungsinya untuk petani ditetapkan berdasarkan biaya produksi di tingkat petani plus keuntungan untuk ditetapkan HBT. HET silakan ditetapkan, tetapi HBT ditetapkan, jadi pemerintah bisa hitung persis kira-kira margin perdagangan pengangkutan [MPP] sehingga bisa ditetapkan HET pada harga yang lebih fair,” ujar Dwi.

Dengan harga GKP yang saat ini di atas Rp7.000/kg, dia berpendapat setidaknya HBT ditetapkan pada level Rp7.000/kg dan HET beras premium ditetapkan pada Rp15.000/kg.

“HBT itu siapapun yang beli dari petani, harga terendah segitu. Kalau mekanisme pasar menyebabkan harga Rp7.500/kg [boleh], tetapi tidak boleh lebih rendah dari Rp7.000/kg. Boleh mekanisme pasar bisa naik tetapi jangan sampai di bawah Rp7.000/kg,” tegasnya. 

Stok beras di super indo. (Sumber: Pramesti/Bloomberg Technoz)


Peritel Sulit Dapat Stok

Dari sisi pengusaha, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey juga berpendapat sudah saatnya HET beras direvisi, setidaknya untuk sementara, guna mencegah aksi spekulan menahan pasokan beras ke tingkat pengecer.

“Guna mencegah kekosongan atau kelangkaan atas bahan pokok dan penting di gerai-gerai ritel modern, yang bilamana terjadi akan bermuara kepada panic buying konsumen karena khawatir barang akan habis di tengah situasi harga yang tidak stabil,” kata Roy, Jumat (9/2/2024).

Selain itu, revisi HET juga dibutuhkan agar peritel bisa membeli beras dari produsen yang sudah menaikkan harga beli. Menurutnya, harga beras sudah naik sebesar 20%—35% dari dalam sepekan terakhir.

Roy menjelaskan saat ini peritel mulai kesulitan mendapatkan suplai beras tipe premium lokal dengan kemasan 5 kg. Keterbatasan stok tersebut dikarenakan oleh belum mulainya masa panen yang diperkirakan terjadi pada pertengahan Maret.

Selain itu, menurutnya kelangkaan itu terjadi akibat belum masuknya beras Bulog tipe medium atau beras untuk program Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang diimpor pemerintah.

Lebih lanjut, dia mengatakan saat ini para peritel terpaksa membeli beras di atas HET dari para pemasok beras lokal. Faktor itulah, yang menurut Roy, menjadi alasan terjadi kenaikan harga beras di level ritel.

“Karena tidak mungkin pengusaha menjual beras dengan harga yang sudah tinggi dan dijual,” terangnya.

Bongkar muat beras bulog impor dari Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (12/10/2023). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

HET Diubah, Beras Bisa Makin Mahal

Berbeda pendapat, Perum Bulog (Persero) tidak setuju terhadap wacana penyesuaian terhadap HET maupun harga pembelian pemerintah (HPP) untuk komoditas beras, sebagai imbas dari harga yang terus naik.

Direktur Utama Bulog Bayu Krisnamurthi mengatakan penyesuaian harga acuan dalam situasi pasokan terbatas, baik HET dan HPP, pada akhirnya justru bakal menaikkan inflasi.

“Pengalaman selama ini menunjukan kenaikan HET dan HPP, terutama pada situasi pasokan yang terbatas, akan menaikan harga dan inflasi,” ujar Bayu saat dihubungi Bloomberg Technoz.

Menurut Bayu, saat ini HPP Bulog masih mengikuti ketentuan HPP pemerintah. Peraturan Badan Pangan Nasional No. 6/2023 tentang Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras mengatur HPP gabah kering panen (GKP) di petani senilai Rp5.000/kg, GKP di penggilingan Rp5.100/kg, gabah kering giling (GKG) di petani Rp6.200/kg, dan GKG di penggilingan Rp6.300/kg. Sementara itu, HPP untuk beras di gudang Bulog dibanderol Rp9.950/kg.

Bagaimanapun, Bayu mengakui tingginya harga gabah di tingkat produsen dan penggilingan menjadi penyebab harga beras makin tidak terkendali, yang berujung pada isu-isu lanjutan seperti gangguan pasok ke tingkat pengecer atau ritel.

Berdasarkan pantauannya, harga gabah kering giling (GKG) di beberapa penggilingan bahkan sudah menembus di atas Rp8.000/kg.

“Benar, harga GKG yang mahal membuat harga pokok berasnya menjadi mahal, padahal ada HET [harga eceran tertinggi], tetapi banyak juga yang menjual di atas HET,” ujarnya, Jumat (9/2/2024).

Akan tetapi, dia belum dapat menyimpulkan apakah fenomena tersebut memicu aksi spekulan yang menahan pasokan berasnya – lantaran margin yang menipis – dan berujung pada kelangkaan stok di sejumlah gerai ritel modern di Jabodetabek.

“Kami pantau terus. Tampaknya kemungkinan [pemicunya adalah] karena libur Imlek, di mana pedagang mengurangi kegiatan dan beberapa toko tutup. Ada juga yang mengantisipasi hari terakhir kampanye yang katanya akan sangat ramai.”

Sebelum melakukan tindak lanjut terkait dengan stabilisasi harga beras maupun penyesuaian harga acuan, Bayu mengatakan Bulog juga akan memantau perkembangan selanjutnya setelah periode panen raya tahun ini, yang akan dimulai pada Maret.

“Kita tunggu sebentar lagi beberapa daerah akan panen. Namun, [hasil] panen juga masih belum menentu,” tegasnya.  

Pekerja membawa karung beras di Jakarta. (Dimas Ardian/Bloomberg)


Jalan Tengah Harga Beras

Lain perspektif, Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) menilai wacana pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap HET tidak akan berperan signifikan dalam mengendalikan harga beras.  

Ketua Perpadi Sutarto Alimoeso mengatakan perbaikan tata kelola pertanian dari hulu hingga hilir merupakan solusi sebenarnya untuk mengatasi kenaikan harga beras.

Menurut mantan Direktur Utama Perum Bulog era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, harga beras bakal kembali naik dan melampaui HET bahkan setelah penyesuaian dilakukan bila tidak ada perbaikan tata kelola pertanian.

“Bukan berarti ditetapkan HET nanti tidak akan gejolak lagi, tidak bisa begitu juga. Begitu nanti kebijakan tata kelola pertanian tidak dikoreksi, ini [harga beras naik] tetap berulang lagi,” ujar Sutarto saat dihubungi, Rabu (31/1/2024).

Bahkan, Sutarto menilai, penghapusan HET sebenarnya tidak menjadi masalah. Penyebabnya, sebenarnya yang membutuhkan patokan atau pedoman harga adalah pemerintah, bukan konsumen.

Patokan harga tersebut bakal menjadi landasan pemerintah bila harga beras naik untuk melakukan operasi pasar melalui bantuan pangan atau penyaluran beras SPHP. 

Sutarto menilai,  perbaikan tata kelola pertanian bisa dilakukan dari hulu hingga hilir. Hal ini bisa ditempuh melalui berbagai cara.

Pertama, perbaikan kepemilikan lahan petani. Sebab, selama ini kepemilikan lahan petani makin sempit, ditambah dengan adanya konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian seperti untuk kebutuhan infrastruktur demi alasan investasi.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Perpadi dan pihak-pihak lainnya, terdapat pengurangan lahan untuk produksi padi di Klaten yang hilang sebanyak 45 hektare hingga 93 hektare dalam waktu satu tahun pada satu kabupaten

“Akibatnya penyediaan produksi gabah kita otomatis makin turun, ini di aspek lahan,” ujar Sutarto.

Petani tengah memanen padi di Nagrek, Jawa Barat (Dimas Ardian/Bloomberg)


Kedua, memperhatikan dan memperbaiki aspek-aspek untuk menunjang produksi. Mulai dari pupuk, benih yang berkualitas, infrastruktur seperti saluran irigasi dan alat dan mesin pertanian (alsintan) berupa traktor.

Selama ini, petani masih kesulitan untuk mengakses pupuk subsidi. Selain itu, percepatan perbaikan saluran irigasi harus dilakukan karena berperan penting untuk menjaga produksi padi saat musim kemarau atau fenomena iklim seperti El-Nino.

“Pantai Utara Jawa Barat mestinya tidak perlu mundur waktu tanam karena air dijamin dari bendungan. Namun, ternyata tidak, saya baru saja ke Pantura. Ini yang sudah ada tanamannya yang sudah agak besar baru Karawang bagian barat. Pergi ke timur belum ada tanaman. Sampai Maret [diprediksi] belum panen,” ujarnya.

“Ini yang terjadi di Pantura sebagian terutama menjelang Subang, Manukan timur sampai Indramayu, Cirebon tanaman ada yang baru mengolah tanah, air baru masuk dan sebagainya,”

Selain itu, petani juga masih sulit untuk mendapatkan benih berkualitas serta kesulitan mengakses program subsidi solar untuk alsintan

Ketiga, evaluasi kebijakan pembangunan atau investasi penggilingan padi besar perlu dilakukan karena justru dinilai menciptakan persaingan baru dengan penggilingan padi kecil.

“Usul kita, revitalisasi [penggilingan padi] yang sudah ada, yang kecil. Kemudian harus diatur, penggilingan padi besar jangan main gabah sampai beras, main beras aja. Tanpa diatur, tetap terjadi persaingan di lapangan yang menaikan harga,” ujarnya.

“Jadi HET bukan satu-satunya solusi karena, pada awalnya, persoalan muncul maka ada HET. Dahulu kan tidak ada HET di Indonesia.”


-- Dengan asistensi Dovana Hasiana

(wdh)

No more pages