Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Menteri Investasi/BKPM, Bahlil Lahadalia, menuai perhatian publik terkait pernyataannya mengenai penghematan dana negara sebesar Rp30 triliun, apabila Pemilu dilakukan satu putaran.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai bahwa
pernyataan Bahlil seolah menunjukkan kesadaran atau kepeduliannya akan kebutuhan untuk mengelola anggaran negara dengan efisien. Namun, Formappi menekankan bahwa biaya Pemilu tidak hanya berkutat pada aspek anggaran semata.

Meskipun sistem Pemilu satu putaran dapat mengurangi pengeluaran negara, pengalaman justru menunjukkan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk Pemilu seringkali melebihi perkiraan awal.

"Pengabungan lima jenis Pemilu awalnya kan untuk menghemat anggaran. Begitu juga Pilkada yang sebelumnya terpisah-pisah, sekarang digabungin. Alasan utamanya juga agar anggaran bisa dihemat," jelas peneliti sekaligus pendiri Formappi, Lucius Karus ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz, Jumat (9/2/2024) pagi.

"Nyatanya walau sudah digabung, anggaran malah naik berkali-kali lipat."Menurut Lucius, asumsi dengan penghematan anggaran dalam perubahan sistem Pemilu tidak dapat selalu terwujud atau berjalan dengan baik.

Tak hanya itu, Lucius menegaskan bahwa pentingnya penyelenggaraan pemilu secara jujur dan transparan, tanpa campur tangan kecurangan. Ini penting agar anggaran yang dialokasikan dapat digunakan dengan tepat dan bertanggung jawab.

"Jangan menakut-nakuti rakyat pakai anggaran, padahal niatnya nggak mau bertarung secara fair, atau takut bertarung secara jantan karena akan kalah. Selagi anggaran negara digunakan untuk sesuatu yang benar, dan penggunaannya bisa dipertanggungjawabkan, mestinya nggak soal anggaran yang berasal dari APBN itu," tegasnya.

"Yang jadi soal itu kalau anggaran sudah disediakan dalam jumlah besar, tetapi pemilunya dibikin asal-asalan, penuh kecurangan. Itu yang merugikan negara dan bangsa. Buang anggaran banyak-banyak hanya untuk menyiasati kecurangan dalam pemilu," sambung dia.

Sementara itu, menurut Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati  bahwa partisipasi dalam proses demokrasi memiliki konsekuensi biaya yang tidak dapat dihindari.

Pemilu sebagai salah satu pilar demokrasi, lanjut Agustyati, memang membutuhkan dana yang signifikan untuk mengatur proses pemilihan yang melibatkan banyak pemilih, petugas, dan logistik.

Sehingga Ninis -sapaan Khoirunisa- menekankan bahwa, mau bagaimanapun negara harus siap menghadapi konsekuensi finansial yang melekat pada penyelenggaraan Pemilu.

Jika negara tidak ingin mengalokasikan dana untuk pemilu, maka harus mempertimbangkan konsekuensi lain yang mungkin timbul dari tidak adanya proses demokrasi yang berjalan dengan baik.

"Jadi penyelenggaraan pemilu memang berkonsekuensi pada biaya. Kalau tidak ingin mengeluarkan anggaran ya tidak usah pemilu, tapi akan ada harga lain yang harus kita bayar ketika tdk memilih jalan demokrasi," tegas Ninis kepada Bloomberg Technoz.

Melansir dari berbagai sumber dan Kementerian Keuangan, anggaran Pemilu di Indonesia memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan di tiap periodenya. Bila ditelusuri, anggaran pada Pemilu 1999 mencapai Rp1,3 triliun, lalu naik menjadi Rp 4,4 triliun pada 2004. Adapun kenaikannya bisa mencapai lebih dari 50%.

Lalu angka kembali naik pada 2009 menjadi Rp8,5 triliun dan anggran tersebut kembali naik di periode Pemilu 2014 yakni Rp15,6 triliun.

Tak hanya itu, bahkan Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran di Pemilu 2019 sebesar Rp25,59 triliun atau naik 61% dibanding anggaran untuk Pemilu 2014, sebesar Rp15,62 triliun.

Kini anggaran untuk periode Pemilu 2024-2029 kembali naik tajam dengan total anggaran mencapai Rp71,3 triliun.

(prc/wep)

No more pages