Kondisi kedua, menurut dia, masifnya gerakan moral yang tengah digulirkan sejumlah guru besar atau civitas academica. Gerakan yang dimulai dengan Universitas Gajah Mada melalui petisi Bulaksumur ini bisa menjadi kesadaran dan keprihatinan publik soal demokrasi yang tak fair pada Pemilu 2024.
Gerakan melalui deklarasi sikap dan petisi tersebut bisa menjadi bola salju yang mengelinding dan semakin besar. Kesadaran yang dibangun para guru besar ini bisa menjadi dorongan untuk tak memilih pasangan yang diendorse kuat oleh petahana atau presiden Joko Widodo (Jokowi).
Demikian pula gerakan yang menggaungkan seruan 'asalkan bukan 02' atau 'kampanye 4 jari' yang mengajak pemilik hak suara untuk memilih paslon 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau paslon 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Akan tetapi, Romli sendiri menilai dua gerakan tersebut ternyata tak mampu menyentuh kelompok muda. Kampanye guru besar dan media sosial dinilai tak menggugah kesadaran pemilih muda tentang kecurangan politik yang terjadi pada Pemilu 2024.
"Kemudian apa gerakan-gerakan itu berhasil dalam sisa 7 hari ke depan ini? Saya lihat ada counter dan tidak direspon," kata Romli.
Sedangkan kondisi ketiga, ujar dia, adalah perlawanan terbuka antara partai pengusung 01 dan 03 kepada Presiden Jokowi dengan menarik seluruh menterinya dari Kabinet Indonesia Maju. Keputusan dan sikap ini memang cukup ekstrem dan secara terbuka seolah seperti mendeklarasikan perang Bharatayuddha (perang besar dalam kisah Mahabharata).
"Walau pun ketika pak Mahfud mundur [dari Menko Polhukam] juga tidak direspon secara positif oleh publik. Biasa-biasa saja, seperti tidak ada kejadian apa-apa," kata Romli.
(dov/frg)