Terkait dengan isu kedua, Enrico memandang masalah keberlanjutan energi juga harus menjadi perhatian pengusaha dan masyarakat, bukan sekadar pemerintah yang baru.
Dia mengatakan tren emisi obligasi korporasi untuk pengembangan energi bersih ke depan akan makin banyak, lantaran proyek-proyek transisi energi membutuhkan biaya yang sangat besar.
Dalam jangka panjang, sambungnya, tren pendanaan ke proyek-proyek transisi tersebut akan secara otomatis meningkatkan sektor keuangan di Indonesia.
“Namun, rasionya di Indonesia kalau menurut Bank Dunia itu masih di bawah potensi. Bukan hanya rasio kredit terhadap PDB, tetapi masih banyak lagi. Itulah mengapa pendalaman pasar keuangan perlu menjadi fokus, siapapun nanti yang memimpin. Jika tidak nanti pertumbuhan ekonomi kita akan segitu-gitu saja,” kata Enrico.
Masih terkait dengan isu keberlanjutan energi, Enrico menilai Indonesia masih ditantang oleh ketergantungan terhadap sumber enrgi kotor seperti batu bara. Dengan demikian, pemerintah ke depan harus memacu investasi hijau.
Isu yang ketiga, Enrico menyebut perkembangan AI akan menjadi sebuah keniscayaan. Jika Pemerintah Indonesia ke depannya acuh tak acu pada isu dari sektor teknologi ini, masalah bonus demografi akan berubah menjadi beban demografi.
“AI ini isu yang tidak kalah mengerikan. Dalam kurang dari 5 tahun ke depan, berbagai pekerjaan akan tergantikan oleh AI, karena insentifnya begitu tinggi. Secara modal juga lebih efisien. Pengusaha akan lebih memilih menggunakan AI.”
Untuk itu, pemerintah dinilai perlu mengalokasikan kembali program-program pelatihan bagi lulusan baru yang akan terjun ke pasar kerja. Penyebabnya, generasi ini akan menghadapi persaingan tidak hanya antarmanusia, tetapi dengan AI, dalam mendapatkan pekerjaan.
“Costumer service, marketing, dan sebagainya itu transisi ke automasinya tinggi karena tingkat kesalahan AI sangat rendah, yang mengerjakan robot, tidak tidur pun tidak apa-apa. Jadi mau tidak mau, automasi ini akan datang dengan kencang sekali.”
Pemerintah yang baru, sambung Enrico, harus bisa menyikapi ancaman tersebut. Terlebih, Indonesia memiliki ruang fiskal yang terbatas. Untuk itu, sektor swasta harus dirangkul untuk menjaring likuiditas.
Proyeksi 10 Tahun
Lebih lanjut, Enrico mengatakan, jika tidak ada transformasi yang substansial di Indonesia untuk mengatasi tiga isu tersebut, dalam 10 tahun negara ini akan kesulitan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.
“Untuk 10 tahun ke depan, ini menjadi penting. Kenapa? Karena dalam 10 tahun problem kita adalah faktor demographic divident, yang jika tidak dikelola justru akan menjadi demographic liability.”
Dalam 10 tahun, lanjutnya, Indonesia juga akan memiliki banyak populasi menua. Walhasil, tanpa pendalaman finansial yang cukup, beban pensiun dan jebakan kelas menengah akan mengintai negara ini.
“Itu problem dalam 10 tahun ke depan. Makanya, pemerintah dalam 1 dekade ke depan punya tugas yang sangat berat. Ini sangat penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Rakyat Indonesia. Tiga isu itu, paling tidak, bisa kita koreksi, apa yang harus kita lakukan. Kita tidak bisa bergerak sendiri, tetapi harus bersama-sama.”
(wdh)