“Di London, Singapura sudah melakukan. Mereka melakukan investasi di Indoensia karena mereka melihat itu sebagai peluang. Namun, regulasi menjadi penting. Itu harus dilihat karena akan menggantikan ekspor komoditas.
Nikel Akan Habis
Lebih lanjut, Michael mengomentari ihwal euforia ekspor produk hilir nikel yang sedang digalakkan Indonesia. Menurutnya, pada satu titik, perdagangan komoditas –termasuk nikel– akan mencapai titik jenuh. Belum lagi, keberlanjutan cadangannya juga bisa menjadi masalah.
“Nikel akan habis. Nikel di manapun akan habis. Nikel bukan sumber energi. Nikel bisa didaur ulang, tetapi pada kemudian hari sumbernya bisa habis. Sama seperti batu bara maupun minyak bumi,” terangnya.
Untuk itu, kembali lagi, Michael mengingatkan agar pemerintah juga mulai memikirkan untuk komersialisasi EBT lantaran sumber dayanya terjangkau dan tidak akan habis. Misalnya, energi atau angin.
“Lalu gas dan panas bumi. Kita punya salah satu cadangan gas bumi yang sangat besar, terutama karena kita berada di kawasan cincin api. Ini kita manfaatkan. Kalau minyak, suatu saat kilang-kilang itu akan pensiun,” ujarnya.
“Nikel juga begitu. Pada kemudian hari pasar komoditas [baterai] tidak hanya soal nikel, tetapi muncul juga litium, sodium, bahkan sampai hidrogen. Semua teknologi bergerak mencari sumber pencadang energi. Dampak dari fenomena itu yang harus kita perhatikan ke depannya.”
(wdh)