Revisi aturan tersebut sempat tersendat lantaran adanya potensi tanggungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai kompensasi subsidi melalui PLN.
Beleid itu memang mengamanatkan apabila terjadi kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik setelah adopsi besar-besaran PLTS atap di tengah masyarakat, nantinya dikhawatirkan dapat membebani APBN.
Namun, Feby mengatakan, persoalan itu kini telah ditengahi oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Di permennya sudah disebutkan bahwa kalau misalnya nanti ada kenaikan bpp dari PLN itu nanti akan dibebankan ke negara," ujar dia.
Sementara itu, Feby melanjutkan, aturan itu juga menghapus skema penitipan listrik yang dihasilkan melalui PLTS atap kepada PLN, berbeda dari sebelumnya yang mewajibkan penitipan listrik ke PLN.
Nantinya, masyarakat yang ingin memasang PLTS atap itu juga bakal ditetapkan formula batas atasnya berdasarkan kuota yang ditetapkan oleh PLN berdasarkan persetujuan otoritas energi.
Hal lain yang bakal diatur juga yakni ada juga insentif yang mengamanatkan bawah jika pengguna PLTS atap mengalami kendala, seperti tak ada sumber matahari, maka bisa menggunakan listrik PLN.
Secara keseluruhan, substansi dalam revisi permen tersebut soal kapasitas PLTS atap maksimum 100% daya terpasang berdasarkan sistem kuota, yang sebelumnya dibatasi hanya sekitar 10%—15%.
Kemudian, peniadaan ekspor kelebihan listrik, penghapusan biaya kapasitas untuk pelanggan industri (sebelumnya 5 jam), waktu pengajuan pemasangan PLTS atap yang dibatasi 2 kali dalam setahun.
Kemudian, adanya ketentuan peralihan untuk pelanggan eksisting yang telah memasang PLTS Atap. Kepada pelanggan PLTS atap eksisting masih tetap diberlakukan ketentuan peraturan sebelumnya dengan jangka waktu hingga 10 tahun sejak PLTS atap beroperasi.
(ibn/wdh)