Pada laporan keuangan terakhir yang diterbitkan, SVB tercatat membukukan pendapatan US$ 6,21 miliar (Rp 96 triliun), angka ini tumbuh tipis 4%. Net Interest Income (NII) milik SVB juga mencatatkan pertumbuhan menjadi US$ 4,4 miliar (Rp 68 triliun), naik 41%.
Akan tetapi, laba bersihnya terkoreksi menjadi tersisa US$ 1,5 miliar (Rp 23,2 triliun), turun 17% secara tahunan.
Lebih lanjut, sumber kekayaan dan pendapatan SVB berasal dari fee investasi dari klien, segmen bisnis investment banking, fee dari nilai tukar valuta asing, dan juga komisi dari layanan private wealth management.
Adapun total keseluruhan pendanaan yang diberikan SVB mencapai US$ 74 miliar (Rp 1.145 triliun). Menariknya, pada Non Performing Loan (NPL) terus mencatatkan peningkatan, pada tahun buku 2022 NPL SVB ada di angka US$ 137 juta (Rp 2,1 triliun), meningkat mencapai 63% daripada sebelumnya NPL sebesar US$ 84 juta (Rp 1,3 triliun).
Artinya, adanya peningkatan permasalahan pada sejumlah pendanaan yang diberikan SVB kepada para peminjam.
Sebagai gambaran, NPL adalah indikator kesehatan dari sejumlah aset yang dimiliki perbankan. Perhitungannya berkaitan dengan banyaknya debitur (Peminjam) yang gagal melakukan pelunasan pinjaman sesuai dengan kesepakatan kepada kreditur (Pihak bank).
Sementara itu, rasio profitabilitas pada Return on Assets (ROA) mencatatkan penurunan angka, dari sebelumnya 0,8%, menjadi 0,7%. Senada, Return on Equity (ROE) juga turun, dari sebelumnya pada level 17%, menjadi hanya 12%.
Artinya, return atau pengembalian profit dari bisnis yang dijalankan terus terkikis. Hal ini akan mengorbankan laba bersih nantinya.
SVB Financial, yang berbasis di Santa Clara, California, memiliki sekitar 55 kantor regional di AS serta memiliki kantor internasional di Kanada, Inggris, Israel, Jerman, Denmark, India, Hong Kong, dan China.
Sebelumnya pada 2021, SVB Financial mengumumkan ekspansi bisnis investasinya pada sektor teknologi dengan akuisisi MoffettNathanson LLC, sebuah perusahaan riset independen yang berbasis di New York dan terkenal karena liputannya terhadap perusahaan-perusahaan pertumbuhan tinggi dan disruptif di sektor media, komunikasi, dan teknologi.
Akuisisi ini memungkinkan bisnis perbankan investasi SVB, yaitu SVB Leerink, untuk memperluas cakupan risetnya agar mencakup perusahaan-perusahaan di industri kesehatan dan teknologi.
Pada tahun yang sama, SVB Financial juga telah menyelesaikan akuisisi Boston Private Financial Holdings, Inc., perusahaan induk dari Boston Private Bank and Trust Company, sebuah penyedia layanan wealth management, dan perbankan terpadu dengan nilai total transaksi sekitar US$ 900 juta (Rp 14 triliun).
Dengan akuisisi Boston Private, SVB Private Banking and Wealth Management memberikan panduan yang memacu kliennya untuk membangun kekayaannya dan memperluas peluang lebih jauh lagi.
Kejatuhan SVB membuat pasar bereaksi. Salah satunya adalah pelaku pasar kini mulai memperkirakan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bisa saja mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan untuk membuat dampak kejatuhan SVB tidak semakin parah.
"Saat ini, pasar swap memperkirakan ada peluang 10% The Fed akan menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) dalam rapat pekan depan. Dalam kata lain, ekspektasi suku bunga global agak menurun," kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.
Kenaikan suku bunga acuan yang agresif sejak tahun lalu, lanjut Satria, membuat nilai obligasi pemerintah yang dimiliki SVB tergerus. Saat suku bunga naik, maka imbal hasil (yield) obligasi akan naik. Ketika yield naik, maka harga surat utang bergerak sebaliknya.
Mengutip catatan Bloomberg, SVB mengalami rugi dalam jual-beli surat berharga. Tahun lalu, kerugian itu tercatat US$ 285 juta. Pada 2021, securities gains SVB masih mencatat untung US$ 761 juta.
(fad/aji)