Sementara di wilayah Kepulauan Maluku dan Papua, muncul provinsi Maluku Utara yang mencetak pertumbuhan ekonomi tinggi hingga 20,49% pada 2023 lalu.
Di provinsi yang baru lahir pada 1999 itu dan dihuni oleh sekitar 1,31 juta jiwa itu, juga berdiri banyak usaha tambang nikel. Di antaranya adalah tambang milik PT Weda Bay Nickel, perusahaan yang dimiliki oleh Thingshan Group dengan 51,2% saham, Eramet -perusahaan asal Prancis dengan 37,8% saham, dan sisa saham dimiliki BUMN PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Ada juga tambang nikel di Kawasi, provinsi yang sama, dikelola oleh PT Trimegah Bangun Persada, sebuah afiliasi Harita Group.
“Industri yang memang cukup besar di kedua provinsi tersebut adalah berasal dari industri olahan barang tambang terutama feronikel. Jadi, jika ditarik kesimpulan, industrialisasi atau program hilirisasi nikel memang memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di sana,” kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar Widyastuti di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Sebagai perbandingan, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua yang menjadi basis pertambangan nikel mencatat laju di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,05% tahun lalu. Pulau Sulawesi mencatat pertumbuhan 6,37%, sementara Maluku dan Papua 6,94%.
Ketimpangan Meningkat
Akan tetapi, kegiatan pertambangan yang marak di daerah-daerah kaya sumber daya alam itu, belum mampu secara signifikan menurunkan angka kemiskinan. Data BPS mencatat, di Sulawesi Tengah saat ini terdapat 395.660 orang penduduk miskin, hanya berkurang 1,2% dalam satu dekade.
Sebagai gambaran, pada 2013, jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut mencapai 400.400 orang. Sedang menurut persentase, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Tengah pada 2023 setara dengan 12,41% dari total populasi.
Hal yang sama juga terlihat di Maluku Utara. Pada 2013, jumlah penduduk miskin di provinsi di mana ada tambang besar di Teluk Weda itu, mencapai 83.200 orang. Sepuluh tahun berlalu, jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut malah bertambah menjadi 83.800 orang. Persentasenya juga stagnan, padahal pertumbuhan ekonomi sudah melesat hampir empat kali lipat dalam 10 tahun.
Bukan cuma itu, ketimpangan ekonomi juga tidak menunjukkan pemerataan. Satu dekade silam pada 2013, Rasio Gini di Maluku Utara ada di angka 0,315. Angka itu nyaris stagnan di mana pada 2023 sampai data terbaru Maret lalu, Rasio Gini provinsi ini masih di kisaran 0,300.
Rasio Gini diukur dengan ukuran 0 hingga 1 di mana semakin mendekati satu berarti tingkat ketimpangan pendapatan penduduk kian melebar atau mendekati ketimpangan sempurna. Sebaliknya, semakin mendekati angka nol maka itu berarti distribusi pendapatan semakin merata, atau mendekati pemerataan sempurna.
Rasio Gini di Maluku Utara sempat membaik pada 2022 di mana menyentuh level terendah satu dekade di angka 0,279. Namun, tahun lalu ketimpangan makin memburuk terindikasi dari kenaikan Rasio Gini pada semester 1-2023 di 0,309 dan di paruh kedua tahun lalu di 0,300.
Ketimpangan juga masih tinggi di Sulawesi Tengah dengan Rasio Gini sebesar 0,324. Angka itu memang sudah lebih baik bila dibandingkan satu dekade silam di mana pada 2013 rasio ketimpangan pendapatan Sulawesi Tengah mencapai 0,410. Namun, Rasio Gini tahun 2023 itu lebih buruk dibandingkan lima tahun sebelumnya pada 2019 di mana Rasio Gini ada di 0,304.
Kualitas Lingkungan
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi terungkit kegiatan industri pertambangan dan hilirisasi juga membawa dampak besar terhadap penurunan kualitas lingkungan. Dalam publikasi akhir tahun lalu, WALHI menyoroti, pertambangan mineral kritis seperti nikel telah menyebabkan deforestasi hingga 25.000 hektar dalam 20 tahun terakhir.
"Deforestasi akan terus meningkat mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 hektar yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2," kata WALHI.
Hilirisasi nikel di Maluku Utara, disebut oleh WALHI, telah memporakporandakan pulau-pulau kecil. "Masyarakat yang hidup di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, khususnya di Desa Kawasi, wilayah pesisir dan laut mereka telah mengalami pencemaran berat akibat aktivitas pertambangan sehingga potensi perikanan tangkap menurun sangat drastis. Saat ini mereka dipaksa pindah dari desanya karena berada dalam areal pertambangan nikel," jelas WALHI.
Laporan yang pernah dilansir oleh Brookings Institute, lembaga non-profit yang berkantor di Washington, Amerika Serikat, pada September lalu menilai, sektor nikel di Indonesia “sangat intensif karbon dan merusak lingkungan,” karena ketergantungannya pada batu bara.
Di Sulawesi Tengah, tepatnya di Morowali di mana IMIP beroperasi, setidaknya 8.700 hektar hutan hujan telah hancur sejak tahun 2000 lalu menurut analisis yang dikeluarkan oleh Greenpeace Indonesia. Kehancuran hutan karena banyak pepohonan ditebangi dan arealnya dijadikan lahan pertambangan, pabrik peleburan, dan infrastruktur pendukung. Isu lingkungan ini berkelindan dengan terus bermunculan kasus kecelakaan kerja di area pertambangan, terutama nikel hingga puluhan kasus.
Mendapati fakta dan data-data tersebut, Indonesia terlihat kesulitan keluar dari fenomena resource curse atau kutukan sumber daya alam, sebuah fenomena di mana daerah-daerah di mana terdapat kekayaan alam melimpah justru membawa masyarakat hidup miskin dan penuh konflik. "Kutukan sumber daya alam menjelaskan kegagalan negara dalam menterjemahkan kekayaan alam menjadi alat pendorong kesejahteraan masyarakat," tulis Insitite of Essential Services Reform.
Tidak semua negara dengan sumber daya alam melimpah terjebak resource curse. Negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Qatar juga Uni Emirat Arab, sebagai contoh. Negara-negara itu kaya minyak mentah dan dinilai berhasil mentransformasikan perekonomian mereka menjadi lebih maju seiring dengan pertumbuhan indeks pembangunan manusia yang baik.
(rui/aji)