Serangan Baja
Dalam penyelidikannya, KADI pun menemukan bahwa baja menjadi industri yang paling banyak didera kasus dumping. Sebanyak 50 kasus yang terbukti dumping terjadi di sektor ini dan telah dikenakan BMAD.
Donna menilai industri baja banyak diserang praktik dumping lantaran permintaannya di dalam negeri sangat tinggi untuk menyokong sektor industri lain. Tidak heran, lanjutnya, jika sektor baja disebut sebagai Sang Induk Segala Industri atau The Mother of Industry.
Permintaan yang tinggi terhadap komoditas ini merangsang para produsen dan eksportir baja dari berbagai negara untuk menjual harga produknya lebih murah di luar negeri agar lebih kompetitif dari barang pesaing yang diproduksi negara lain, atau bahkan negara tujuan ekspor itu sendiri.
“Ditengarai rata-rata [produsen baja dari] China selalu bisa menjual dengan harga murah, lebih murah [dari buatan lokal]. Dengan demikian, kalau kita punya industri dalam negeri [yang] memproduksi barang sejenis dengan yang diimpor dari China, selalu mereka mengeluh [kalah saing] kalau sudah berbicara produk impor dari China. Ini secara umum, [produsen baja lokal] selalu mengeluh luar biasa karena China bisa menjual murah,” terang Donna.
Sayangnya, dia tidak mengelaborasi berapa volume impor baja yang didumping ke Tanah Air dari tahun ke tahun, berikut potensi kerugian industriawan di sektor ini.
Jenis Baja Dumping
Dia pun mengelaborasi terdapat beberapa produk baja yang dikenakan BMAD karena merupakan barang dumping. Pertama, baja lembaran (sheet steel) dan kumparan canai panas atau hot rolled coil (HRC) dari China, India, Thailand, Taiwan, Rusia, dan Belarusia serta Kazakhstan. Kedua, produk I dan H Section untuk baja karbon dari China.
Ketiga, piringan gulung panas atau hot rolled plate (HRP) dari China, Singapura dan Ukraina. Keempat, kumparan canai panas dari baja paduan lainnya atau HRC of other alloy steel dari China. Kelima, baja lembaran lapis timah (tinplate) dari China, Korea Selatan, dan Taiwan.
Selain baja, produk-produk lainnya yang dikenakan dumping adalah serat stapel poliester atau polyester staple fiber (PSF) dari India, China, dan Taiwan. Lalu, frit dari China, serta bahan baku plastik biaxially oriented polyethylene terephthalate (BOPET) dari India, China dan Thailand.
Mekanisme Penyelidikan
Lebih lanjut, Donna menjelaskan KADI tidak serta-merta menetapkan sebuah kasus sebagai dumping, melainkan harus melakukan penyelidikan untuk membuktikan. Dengan demikian, KADI bakal melakukan penyelidikan berdasarkan pengaduan yang diterima dari industri dalam negeri.
“Kalau industri kita sangat curiga itu dumping, mereka datang ke KADI, mengajukan permohonan penyelidikan antidumping, karena tidak boleh asal menuduh dumping. Jadi kalau kita curiga [terdapat] praktik perdagangan curang, tetapi hanya dengan melihat harga saja tanpa membuktikan, itu tidak bisa,” ujar Donna.
“Dijual lebih murah belum tentu tidak fair. Bisa saja karena mungkin industrinya sangat efisien. Makanya, itu yang harus kita buktikan."
Dalam hal ini, industri bakal melaporkan ke KADI dan membawa data-data untuk membuktikan adanya praktik dumping yang dilakukan importir. Data tersebut dapat berupa harga penjualan baja dalam negeri, harga yang dijual importir di Indonesia, data penjualan yang terganggu karena impor, dan sebagainya.
“Misalnya dia katakan cost of production saya sekian, margin saya cuma segini, itu kan yang wajar, harga internasional sekian. Kok impor dari China bisa segini atau masih jauh lebih murah?" ujar Donna.
Setelah mendengar laporan dari industri, KADI bakal melanjutkan menjadi penyelidikan. KADI memiliki perhitungan tersendiri dan penyelidikan dilaksanakan tanpa intervensi dari pemerintah.
Lembaga di bawah otoritas perdagangan itu bakal melakukan verifikasi, termasuk mengirimkan kuesioner untuk meminta data biaya produksi dan penjualan importir di negara yang dituduh.
Misalnya, Indonesia menuduh China dalam melakukan dumping HRP. Perusahaan-perusahaan di China wajib kooperatif dan menyampaikan data yang diminta KADI. Bila ditemukan adanya dumping, besaran BMAD bakal ditetapkan berdasarkan masing-masing perusahaan.
Dengan demikian, masing-masing perusahaan di satu negara bisa memiliki besaran BMAD yang berbeda, tergantung dari jumlah margin dumping yang dilakukan. Dalam hal ini, BMAD diberikan untuk membuat harga barang impor yang dijual setara dengan harga seharusnya.
“Kalau importir tidak kooperatif, maka akan diberikan BMAD paling tinggi. Jadi masing-masing perusahan bisa diterapkan BMAD berbeda di satu negara. Produsen 1 di negara A dapat BMAD katakanlah 15%, produsen 2 bisa dapat 13%, produsen 3 mungkin 0%. BMAD spesifik berdasarkan data kita dari perusahaan itu,” ujarnya.
Setelah terbukti adanya praktik dumping, KADI bakal melaporkan ke menteri perdagangan. Kementerian Perdagangan kemudian akan mengirimkan surat ke Kementerian Keuangan.
“Nanti di Kementerian Keuangan diproses, mereka punya lagi mekanisme sendiri, takes time lagi satu bulan karena [harus di]harmonisasikan, harus masuk ke Kementerian Hukum dan HAM, kemudian ke Sekretariat Negara lalu ke Sekretariat Kabinet. Jadi memang Indonesia ini luar biasanya, baru lah diundangkan dan penetapan BMAD,” ujar Donna.
“Setelah selesai penyelidikan nanti apakah pemerintah mau menerima hasil penyelidikan dan rekomendasi kita, pemerintah mau menerapkan atau menolak pengenaan BMAD, pemerintah yang memutuskan."
Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tren rerata kenaikan impor besi dan baja Indonesia pada 2018 hingga 2022 adalah sebesar 5,61%. Adapun, nilai impor besi dan baja pada 2022 sebesar US$17,91 miliar.
“Namun, pada Januari hingga November 2023, impor besi dan baja mengalami penurunan 11,28% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, menjadi US$14,47 miliar,” ujar Direktur Impor Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Arif Sulistyo kepada Bloomberg Technoz.
Di lain sisi, nilai ekspor besi dan baja pada 2022 senilai US$29,56 miliar, tertinggi sejak 2018.
Risiko Kelesuan China
Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) sebelumnya menyebut risiko China melakukan praktik perdagangan tidak sehat seperti dumping komoditas besi dan baja makin membayangi sektor industri tersebut pada tahun ini.
Ketua IISIA Purwono Widodo mengutip proyeksi beberapa analis yang memprediksi bahwa permintaan dalam negeri China akan mengalami sedikit penurunan, imbas ekonomi yang belum pulih sepenuhnya.
“Potensi [lonjakan] ekspor dan dumping [baja] dari China memang berpeluang terjadi, mengingat kelebihan kapasitas China yang sangat besar dan pertumbuhan demand [dalam negeri] yang terbatas,” ujar Purwono kepada Bloomberg Technoz.
Bagi industri baja nasional, pertumbuhan pasar China memegang peranan penting, mengingat Negeri Panda merupakan pasar terbesar bagi produk baja nasional sekaligus sumber impor terbesar.
Apalagi, dalam laporan terbaru, IISIA mencatat China juga merupakan sumber impor produk baja terbesar bagi Indonesia.
Pada periode 2018—2022, China merupakan sumber utama impor baja ke Indonesia, diikuti oleh Jepang, Oman, Korea Selatan, Rusia dan Afrika Selatan.
Sampai dengan Oktober 2023, China tetap menjadi negara sumber impor produk baja terbesar bagi Indonesia dengan jumlah mencapai 3,35 juta ton atau meningkat signifikan sebesar 28,1% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kendati demikian, Purwono kembali mengutip proyeksi analis yang menyampaikan bahwa permintaan China diprediksi tumbuh 1% hingga 2%.
Dalam laporannya, IISIA menyebutkan, beberapa analis pasar memperkirakan konsumsi baja China pada 2024 kemungkinan mengalami sedikit kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 0,2% menjadi 944,6 juta ton.
Adapun, SteelMint’s — salah satu institusi intelijen pasar— memproyeksikan pertumbuhan permintaan baja China pada 2024 akan mencapai 3%.
Menurut SteelMint’s, dua sektor utama permintaan domestik China diperkirakan akan tumbuh positif, yaitu sektor industri dan investasi aset tetap. Sektor industri China diperkirakan mempertahankan tingkat pertumbuhan sebesar 4% atau lebih tinggi pada 2024.
"Kinerja sektor manufaktur peralatan, terutama peralatan berteknologi tinggi dengan konsumsi baja yang besar, akan tumbuh lebih cepat. Selain itu, Pemerintah China sedang menempuh kebijakan merangsang pembelian mobil, khususnya mobil listrik,” papar lembaga tersebut.
(wdh)