Sedangkan sejumlah saham yang melemah dan menjadi top losers di antaranya PT Toba Pulp Lestari Tbk (INRU) yang anjlok 24,6%, PT Sentra Food Indonesia Tbk (FOOD) jatuh 14,8%, dan PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) ambruk 12,9%.
IHSG bergabung dari sekian Bursa Asia yang menetap di zona merah, Shenzhen Comp. (China), Straits Times (Singapura), Shanghai Composite (China), Kospi (Korea Selatan), LSX Composite Index (Laos), KLCI (Malaysia), dan indeks Hang Seng (Hong Kong), yang melemah masing-masing 3,93%, 1,54%, 1,02%, 0,92%, 0,74%, 0,35%, dan 0,15%.
Sementara Bursa Saham Asia lainnya parkir di zona hijau i.a Topix (Jepang), Nikkei 225 (Jepang), dan SETI (Thailand) ,yang menguat masing-masing 0,67%, 0,54%, dan 0,21%.
Bursa Saham Asia dan IHSG gagal memanfaatkan momentum penguatan di Bursa Saham Amerika Serikat. Pada perdagangan sebelumnya, tiga indeks utama di Wall Street kompak ditutup menghijau.
Dow Jones Industrial Average, S&P 500, dan Nasdaq Composite yang masing-masing melesat dengan kenaikan 0,35%, 1,07%, dan 1,74%, yang didorong oleh reli perusahaan-perusahaan teknologi dan juga laporan ketenagakerjaan yang solid.
"Sulit untuk menjadi terlalu Bearish" dengan ketahanan ekonomi seperti itu, ungkap Bret Kenwell di eToro. Larry Tentarelli di Blue Chip Daily Trend Report melihat data-data terbaru sebagai "Tanda yang sangat Bullish bagi perekonomian".
Senada, Chris Zaccarelli di Independent Advisor Alliance juga memaparkan, sama seperti banyak orang yang terkejut dengan resesi yang tidak pernah muncul pada 2023.
“Selalu ada kemungkinan bahwa satu tahun lagi akan berlalu tanpa resesi," kata Chris.
Seperti yang diwartakan Bloomberg News, data Non-Farm Payroll secara mengejutkan melonjak 353.000 pada bulan lalu setelah revisi ke atas untuk dua bulan sebelumnya.
Tingkat pengangguran bertahan di 3,7%, sedangkan upah per jam meningkat dari bulan sebelumnya, yang merupakan peningkatan terbesar sejak Maret 2022. Data terpisah juga memperlihatkan sentimen konsumen AS yang meningkat tajam.
Bagi Richard Flynn dari Charles Schwab, angka-angka yang dirilis pada Jumat mungkin merupakan faktor lain yang menunda penurunan suku bunga acuan pertama Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) jelang musim panas. Namun jika ekonomi mempertahankan kekuatannya, mungkin penundaan ini bukan hal yang buruk.
Meskipun data-data ekonomi yang kuat terus menjadi pertanda baik bagi perusahan-perusahaan AS, data tersebut memperkuat keyakinan bahwa The Fed akan menunda penurunan suku bunga acuan Federal Fund Rate (FFR).
"Menurut saya kita bisa secara resmi mengucapkan selamat tinggal pada pemotongan suku bunga pada Maret, dan kemungkinan besar pada Mei," ujar Alex McGrath dari NorthEnd Private Wealth.
Sementara itu, sentimen dari dalam negeri juga menekan laju IHSG. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, data pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 berhasil tumbuh baik mencapai 5,05%. Namun, realisasi ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada 2022, yang kala itu menyentuh 5,31%.
BPS memaparkan, sebab dari rendahnya angka tersebut adalah efek dari perlambatan ekonomi global dan dropnya harga komoditas unggulan, juga akibat dari perlambatan kinerja konsumsi rumah tangga terutama oleh kelas menengah.
Menariknya, sepanjang tahun 2023, terjadi pertumbuhan pada seluruh lapangan usaha. Adapun lapangan usaha yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah Industri Pengolahan, Perdagangan, Pertanian, Pertambangan, dan Konstruksi dan Transportasi dan Pergudangan yang mencapai 10,33%, diikuti Jasa Lainnya sebesar 10,1%.
Sementara ekonomi Indonesia pada tahun 2023 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Berlaku mencapai Rp20.892,4 triliun, dan PDB per-kapita mencapai Rp75,0 juta atau setara dengan US$4.919,7.
(fad/wep)