Bhima menilai bahwa perombakan direksi bank BUMN juga berpotensi memiliki muatan politis. Utamanya dengan masa pemerintahan saat ini yang hanya tersisa efektif satu tahun sebelum pemilu.
Dengan demikian, selanjutnya, akan ada penyamaan visi antara kinerja dan pencapaian pemerintah hingga 2024 dengan visi para direksi.
Menurutnya, bank-bank BUMN diharapkan dapat memberi pendanaan lebih besar pada proyek-proyek penugasan infrastruktur dan penyaluran kredit terhadap UMKM. Kedua hal tersebut menjadi perhatian pemerintah saat ini, yang juga sebagai pemegang saham mayoritas bank BUMN, karena akan menjadi legacy.
"Bank-bank HIMBARA belum responsif terhadap rencana pembangunan pemerintah, terutama mega proyek," kata dia. Hal tersebut, lanjut Bhima, dapat terlihat dari besaran kredit sindikasi yang relatif belum banyak membantu percepatan proyek pemerintah.
Bhima melihat adanya kekhawatiran dari bank-bank BUMN dalam menyalurkan pinjaman secara agresif untuk proyek infrastruktur. Apalagi melihat kondisi BUMN Karya saat ini yang dapat memperburuk berisiko non-performing loan (NPL).
“Dari segi direksi intinya harus bisa mendayung di antara dua pulau. Pulau yang pertama adalah target kampanye pemerintah, legacy pemerintah. Kedua adalah kesehatan dan manajemen risiko perbankan. Di situ yang mungkin ada tantangan untuk direksi bank HIMBARA ke depan, jadi lebih berat lah ke depannya,” ungkapnya.
Meskipun demikian, Bhima mengungkapkan perombakan direksi juga menjadi momen untuk memperkuat tata kelola bank-bank BUMN. "Kemudian (perombakan) juga membersihkan (bank BUMN) dari beberapa kerugian. Ini tidak hanya untuk BUMN HIMBARA tapi juga BUMN secara umum," ucap dia.
"Ini momentum bersih-bersih sehingga setahun ke depan bisa lebih efektif dan bisa meninggalkan legacy bahwa ada reformasi BUMN yang solid, makin transparan dan bersih karena itu yang diinginkan publik dan pemegang saham secara umum," tutupnya.
(wep)