Namun, keadaan dengan cepat berbalik menjadi buruk bagi BHP dan perusahaan tambang mineral lainnya. Pasar nikel kini berada dalam kekacauan setelah membanjirnya pasokan baru dari Indonesia – yang merupakan hasil dari investasi besar-besaran China dan terobosan teknologi besar-besaran.
Tambang-tambang di seluruh dunia berisiko ditutup, sementara yang lain meminta dana talangan negara atau bangkrut. BHP, misalnya, kini sedang mempertimbangkan masa depan tambang Nickel West andalannya di Australia.
Sampai saat ini, banyak nama besar di industri nikel yang sangat optimistis terhadap prospek nikel. Logam yang dahulu membosankan ini — yang secara tradisional digunakan untuk membuat baja nirkarat— merupakan bahan penting untuk baterai kendaraan listrik.
Pasokan nikel pada awalnya diperkirakan akan mengalami defisit selama bertahun-tahun ke depan dan perusahaan pertambangan memanfaatkan peluang besar untuk meningkatkan kredibilitas ramah lingkungan mereka.
Secara tradisional, nikel dibagi menjadi dua kategori: kadar rendah untuk pembuatan baja nirkarat dan kadar tinggi untuk baterai.
Ekspansi besar-besaran terhadap produksi baterai kelas rendah kini justru memicu surplus, tetapi inovasi pemrosesan telah memungkinkan kelebihan produksi tersebut diolah menjadi produk berkualitas tinggi yang mampu bersaing di pasar baterai.
Akibatnya, harga logam tersebut anjlok lebih dari 40% pada 2023 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menambah rintangan di pasar yang juga terguncang akibat lemahnya permintaan dan kekhawatiran yang terus-menerus terhadap perekonomian China.
Analis Macquarie memperkirakan lebih dari 60% industri global merugi karena harga nikel saat ini.
Besarnya keruntuhan nikel ini membuat sejumlah pelaku industri mempertanyakan apakah masih ada masa depan bagi sebagian besar tambang nikel di luar Indonesia.
Hal ini juga menambah kekhawatiran di kalangan pembuat kebijakan di Amerika Serikat (AS) dan Eropa mengenai kendali China atas komoditas-komoditas utama, di mana perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda memimpin sebagian besar produksi nikel di Indonesia.
“Setelah mengamati tren yang terjadi di dunia nikel selama lebih dari satu tahun – dengan turunnya harga logam hingga separuhnya – kini kita melihat beberapa aset berbiaya tinggi terekspos,” kata Tom Price, kepala strategi komoditas di Liberum Capital Ltd.
Dia menambahkan bahwa pertambangan di Australia Barat dan wilayah Prancis di Kaledonia Baru kemungkinan besar adalah yang paling rentan.
Di Kaledonia Baru – rangkaian pulau di Pasifik Selatan yang pernah dipandang sebagai masa depan produksi nikel – pemerintah Prancis terpaksa turun tangan untuk menjaga agar pertambangan dan pabrik yang penting bagi perekonomian wilayah tersebut tetap beroperasi.
Para pejabat telah bertemu dengan pemegang saham utama dari tiga pabrik pengolahan untuk menuntaskan kesepakatan penyelamatan, namun sejauh ini belum ada terobosan.
Situasi yang sama suramnya terjadi di Australia.
Selain peninjauan aset nikel oleh BHP di sana, Panoramic Resources Ltd. juga menangguhkan sebuah tambang utama setelah memasuki administrasi sukarela pada akhir tahun lalu, ketika perusahaan tersebut gagal menemukan pembeli atau mitra.
Situs pertambangan IGO Ltd akan ditutup, begitu pula beberapa situs yang dioperasikan oleh Wyloo Metals Pty Ltd milik taipan Andrew Forrest dan First Quantum Minerals Ltd.
Produsen di Australia Barat juga meminta bantuan pejabat. Pada pertemuan krisis akhir bulan lalu, para penambang meminta pemerintah federal untuk memberikan kredit pajak untuk pemrosesan hilir.
Namun, bahkan ketika penurunan produksi mulai terjadi, hal tersebut sepertinya tidak akan memberikan dukungan langsung terhadap harga nikel, menurut Allan Ray Restauro, analis di BloombergNEF. Dia mengatakan, “Banjirnya pasokan dari Indonesia diperkirakan akan terus memberikan tekanan pada harga pada 2024.”
Hal ini karena produksi Indonesia – yang sudah menyumbang setengah dari pasokan global – mungkin terbukti lebih tahan terhadap pengurangan produksi.
Negara di Asia Tenggara ini telah menjadi pusat nikel global setelah melakukan investasi miliaran dolar pada pabrik-pabrik efisien yang memanfaatkan tenaga kerja murah, listrik murah, dan bahan mentah yang mudah didapat.
Meski begitu, ekspansi pesat negara ini menuai kritik. Sebagian besar produksinya berasal dari energi bertenaga batu bara, sehingga menghasilkan emisi per ton yang lebih tinggi dibandingkan dengan produsen pesaingnya, dan ekspansi pesatnya telah mengikis hutan hujan.
Produsen seperti BHP malah menyatakan bahwa pembeli yang membayar harga premium untuk nikel hijau akan membantu menaikkan harga. Namun, sejauh ini hanya ada sedikit bukti mengenai hal tersebut.
Perusahaan tersebut mengakui pada akhir tahun lalu bahwa para produsen mobil tetap dengan senang hati membeli nikel dari Indonesia, sehingga mengindikasikan bahwa hanya akan ada sedikit keringanan bagi para penambang di negara lain dalam waktu dekat.
"Apa yang dapat menghentikan penutupan tambang dan proyek ini? Tentu saja kenaikan harga nikel yang berkelanjutan,” kata Price dari Liberum. “Biasanya, hanya pemulihan permintaan nikel yang dapat mencapai hal tersebut.”
(bbn)