Dalam petisi ini, Unpad meminta Jokowi dan elit politik untuk memberikan keteladanan untuk patuh terhadap hukum dan etika. Pemerintah dan pejabat negara juga harus berjarak dengan para kontestan pemilu.
"Bukan justru menjadi contoh melanggar etika," ujar Visarah.
Guru besar UMY, Akif Khilmiyah juga membacakan Pesan Kebangsaan dan Imbauan Moral berjudul 'Mengawal Demokrasi Indonesia yang Berkeadaban.' Kampus ini sudah mendeteksi mundurnya demokrasi dan hukum dalam satu tahun terakhir pemerintahan Jokowi.
Masalah tersebut mulai muncul saat pemerintah menyunat KPK, maraknya kasus korupsi para pejabat negara, dan kasus etik Hakim MK. Hal ini juga merujuk pada sanksi etik bagi adik ipar Jokowi, Anwar Usman yang dicopot dari jabatan ketua MK akibat cawe-cawe dalam putusan pasal batas usia UU Pemilu.
"Para penguasa negeri ini justru terlihat ambisius mengejar dan melanggengkan kekuasaannya," kata Akif.
Pada hari yang sama dengan Dewan Guru Besar UI, empat universitas juga membacakan pernyataan sikap terhadap pemerintah yaitu Universitas Lambung Mangkulat (ULM), Kalimantan Selatan; Universitas Andalas (Unand), Sumatra Barat; Universitas Hasanuddin (Unhas), Sulawesi Selatan; dan Universitas Khairun (Unkhair), Maluku.
Ketua Senat (ULM), Hadin Muhjad membacakan empat tuntutan yang meminta pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menjalankan etika dan menjunjung prinsip dasar pada Pemilu 2024. Mereka pun berharap Pemilu 2024 tak akan menjadi titik perpecahan.
Civitas akademica Unkhair menerbitkan Petisi Kieraha yang berisi tujuh poin kepada pemerintah. Dosen Unkhair, Mochtar Adam menilai demokrasi di Indonesia turun hingga di bawah angka 5. Kondisi ini membuat Unkhair ingin terjadi penyelamatan demokrasi Indonesia.
Forum guru besar Unhas juga melontarkan kritik kepada Presiden Jokowi berserta seluruh aktor politik di pemerintahannya untuk berhenti menggunakan sumber daya negara demi kepentingan paslon tertentu. Mereka meminta presiden dan jajarannya untuk lebih mementingkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
"Sehingga hasil Pemilu 2024, yaitu presiden dan wakil presiden mendapat legitimasi yang kuat yaitu berbasis kekuatan suara rakyat," ujar Guru Besar Unhas, Triyatni Martosenjoyo.
Civitas academica Unand pun membuat pernyataan sikap yang diberi nama Manifesto Penyelamatan Bangsa. Mereka membantah kegiatannya tersebut sekadar ikut-ikutan universitas lainnya. Pernyataan sikap ini pun bukan aksi politik, namun aksi moral kelompok akademisi terhadap kondisi bangsa.
Seperti civitas lainnya, Unand menyoroti sejumlah peristiwa yang menjadi bibit dan bukti kemunduran demokrasi. Hampir seluruh civitas academica menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan pasal batas usia UU Pemilu agar putera Jokowi, Gibran Rakabuming Raka bisa mendaftar sebagai cawapres pada Pemilu 2024.
Mereka juga menyoroti segala bentuk intimidasi dan ketidaknetralan pejabat publik dan aparat keamanan untuk memenangkan paslon tertentu. Bahkan, sikap Jokowi yang dengan vulgar mengungkap akan berpihak dan ikut kampanye pada Pemilu 2024.
Hal ini membuat kontestasi politik pada Pemilu 2024 berpotensi berjalan tidak fair. Adanya pengerahan institusi dan sumber daya negara untuk kepentingan pemenangan paslon tertentu.
"Ini adalah respons spontan bahwa kami para guru, pendidik, mahasiswa, betul-betul nyata merasakan kegelisahan. Itu yang membuat sikap kampus menyatakan keprihatinannya," kata dosen Unand, Hary Effendi Iskandar.
(red/frg)