Belajar dari sinyal waspada tersebut, para ekonom pun memperingatkan surplus neraca perdagangan pada akhirnya akan kian menciut, berbanding lurus dengan tren perlambatan permintaan global dan mulai meunrunnya harga komoditas.
Dengan kata lain, pemerintah harus segera bermanuver untuk mencari kantong-kantong pendapatan di luar ekspor komoditas, sebagai alternatif sumber penerimaan yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Penetrasi Digital dan Pariwisata
Faktanya, mereka yang di daerah berbasis komoditas ini perlu antisipasi agar tidak terus bergantung pada komoditas.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira
Dalam kaitan itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan industri pariwisata adalah salah satu sektor yang bisa dioptimalkan agar Indonesia tidak terus menerus bergantung pada ekspor komoditas.
Pembangunan infrastruktur penunjang dan promosi pariwisata—khususnya di daerah yang tulang punggung perekonomiannya berbasis komoditas—pun perlu ditingkatkan.
"Momentum booming pariwisata pascapandemi Covid-19 ini perlu dimanfaatkan. Kita jangan mengulang kesalahan pada 2013 di Kalimantan Timur. Salah satu desa di sana tingkat penganggurannya tiba-tiba tinggi karena masyarakat yang terlalu bergantung pada komoditas tambang," katanya ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz, Jumat (10/3/2023).
Selain itu, terangnya, penetrasi digital masyarakat di daerah yang bergantung pada ekspor komoditas perlu ditingkatkan. Masyarakat di daerah tersebut—khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)—perlu didorong untuk memanfaatkan platform digital.
Terlebih, tidak dapat dimungkiri, pemanfaatan platform digital selama ini telah meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses bisnis. Rantai distribusi dan pemasaran juga menjadi lebih optimal dengan adanya digitalisasi.
"Pekerjaan rumahnya adalah mendorong ekonomi digital menjadi lebih inklusif. Penetrasi digital masih terpusat di Jawa, bukan di daerah-daerah yang selama ini bergantung pada komoditas. Faktanya, mereka yang di daerah berbasis komoditas ini perlu antisipasi agar tidak terus bergantung pada komoditas," tuturnya.
Di samping sektor pariwisata, menurut Bhima, industri berbasis energi baru terbarukan (EBT) juga potensial dipacu sebagai sektor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional di luar komoditas.
Selain kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga kaya akan beberapa sumber energi terbarukan, seperti; panas bumi, biomassa, tenaga surya, tenaga angin, dan tenaga air atau hidroenergi.
Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency yang dirilis pada 2022, Indonesia memiliki potensi EBT yang melimpah hingga 3.692 gigawatt (GW). Namun, dari keseluruhan potensi tersebut, baru 10,5 GW atau 0,3% yang dimanfaatkan kapasitas terpasangnya.
Salah satu penyebab rendahnya optimasi industri EBT di Tanah Air adalah faktor pendanaan. Sustainable Fitch sebelumnya menyatakan bahwa bank pembangunan sektor swasta dan multilateral menghadapi tugas berat dalam mengimplementasikan rencana transisi energi di Indonesia karena berbagai alasan.
Salah satunya lantaran peringkat Indonesia yang sering “buruk” pada indeks korupsi global, sehingga dibutuhkan proses pelaporan dan verifikasi yang tepat untuk memastikan bahwa negara ini terus memenuhi janjinya dalam transisi energi.
"Indonesia ini sebenarnya bisa memanfaatkan EBT untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebab, tren investasi global saat ini adalah transisi ke energi bersih dan kita semua punya potensinya," ujarnya.
Negara ini, toh, juga sudah didukung oleh perjanjian pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022. Implementasi dari komitmen tersebut akan didukung oleh pendanaan senilai US$ 20 miliar untuk mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan.
Sekadar catatan, implementasi dari JETP pada tahap awal mengurangi emisi sektor ketenagalistrikan yang kemudian diikuti oleh mewujudkan nol emisi atau net zero emission. Kemudian, mempercepat pemanfaatan EBT setidaknya 34% sumber energi berasal dari energi bersih pada 2030.
Terakhir, Indonesia juga bisa belajar dari kesuksesan penghiliran nikel untuk kemudian diimplementasikan ke komoditas lainnya. Seperti diketahui, Indonesia berhasil meraup nilai tambah dari penghiliran nikel sejumlah US$ 33 miliar pada 2022. Angka ini naik drastis dari rerata capaian ekspor bijih nikel senilai US$ 1,1 miliar per tahun, atau sebelum program penghiliran diberlakukan pada 2021.
"Kita tetap mengandalkan komoditas, tetapi komoditas itu tidak boleh dijual mentah. Harus diolah agar memiliki nilai tambah tinggi seperti yang sukses dilakukan pada nikel," ujar Bhima.
Merangsang Manufaktur
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menguraikan penghiliran komoditas unggulan Indonesia perlu digenjot untuk mendorong masuknya investasi.
Penghiliran berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pusat industri manufaktur dan punya peran penting dalam rantai pasok global, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
"Penghiliran produk-produk berbasis komoditas ini diperlukan. Tadinya diekspor mentah atau setengah jadi, nantinya diekspor dalam bentuk barang jadi. Industri manufaktur tertarik untuk masuk ke Indonesia karena mereka diuntungkan bisa membeli bahan baku lebih murah," katanya kepada Bloomberg Technoz, Jumat (10/3/2023).
Namun, itu saja nyatanya tidak cukup. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, pemerintah juga perlu mendorong industri manufaktur untuk mengembangkan produk berorientasi riset atau kreativitas agar tidak terus menerus bergantung pada ekspor berbasis komoditas.
Produk yang dimaksud adalah produk berbasis hak kekayaan intelektual, khususnya produk yang dihasilkan dari inovasi teknologi.
"Perlu dukungan pendanaan dari pemerintah untuk mendorong produk berbasis riset, pendanaan untuk ini hanya 0,02% dari PDB [produk domestik bruto]. Sektor swasta di Indonesia itu memilih membeli hak kekayaan intelektual dari luar [negeri] bukan mengembangkan sendiri," katanya kepada Bloomberg Technoz, Jumat (10/3/2023).
Selain itu, pemerintah harus mendorong agar industri manufaktur—khususnya yang masuk dalam kategori UMKM—untuk menjadi bagian dari rantai pasok global. Saat ini, tingkat keterlibatan UMKM Indonesia di rantai pasok global masih kurang dari 5%.
"Industri manufaktur, termasuk UMKM di Indonesia, harus bisa terintegrasi dengan merek-merek global. Memasok komponen dari merek-merek global sebelumnya nanti bisa berkembang dengan produk utuh buatan sendiri atau brand lokal," ujarnya.
Sekadar kilas balik, sejak kuartal I-2022, ekspor komoditas yang begitu bertaji terbukti menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi secara tahunan atau year on year (yoy) sebesar 5,01% saat itu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga hanya sanggup tumbuh 4,34% yoy dan lebih dipicu oleh belanja masyarakat untuk kebutuhan tersier. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) alias investasi hanya tumbuh 4,06% ditopang sektor semen dan kendaraan untuk barang modal.
Hanya kinerja ekspor yang mencatatkan pertumbuhan trengginas di level 16,22% yoy, berkat rezeki nomplok dari tren penguatan harga komoditas; yang notabene dagangan andalan Indonesia dari lini nonmigas.
“Perkembangan harga komoditas di tingkat global ini memberikan windfall bagi ekspor Indonesia,” kata BPS Margo Yuwono, medio Mei tahun lalu.
Windfall komoditas sejatinya lekat dari efek gaung perang Rusia-Ukraina, yang mengatrol harga berbagai produk mentah di tingkat global. Beberapa yang menjadi andalan ekspor RI dan tersengat tuah windfall a.l. minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), batu bara, timah, tembaga, dan nikel.
Harga CPO, pada periode awal windfall kuartal I-2022, melesat 18,44% secara kuartalan atau quarter to quarter (qtq) dan melambung 52,74% secara yoy. Harga batu bara, di sisi lain, meroket secara ekstrem menjadi 40,24% qtq dan 153,32% yoy pada rentang yang sama.
Komoditas migas, seperti minyak mentah, juga mendulang windfall dengan kenaikan harga menccapai 23,43% qtq dan 62,94% yoy. Harga timah melonjak 11,54% qtq dan 72,28% yoy, tembaga 2,91% qtq dan 17,79% yoy, sedangkan nikel 35,38% qtq dan 51,92% yoy.
Memasuki kuartal II-2022, masa bulan madu harga komoditas belum memudar. Bahkan, dengan bangga, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan saat itu menyebut kinerja ekspor melesat 19,74% dan kembali menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,44%.
“Penguatan ekspor yang tinggi tersebut salah satunya didorong kenaikan harga komoditas dunia akibat konflik Rusia dan Ukraina yan mengakibatkan disrupsi pasokan global serta kenaikan permintaan negara mitra pascapandemi,” sebut Zulkifli.
Di tengah tren pelemahan ekonomi global dan tekanan inflasi yang meningkat di berbagai negara, Kemendag mendata kinerja ekspor nasional berhasil menjadikan Indonesia unggul dibandingkan dengan mitra dagang strategisnya.
“Pertumbuhan ekonomi ini bahkan berhasil melampaui beberapa negara mitra dagang seperti Singapura dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8%, Korea Selatan dengan 2,9%, Amerika Serikat 1,6, dan China 0,4% pada triwulan II-2022,” tutur mendag.
Pada rentang tersebut, produk ekspor yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada antara lain bahan bakar mineral (HS 27) seperti batu bara, besi dan baja (HS 72) yang merupakan produk turunan nikel, bijih logam (HS 26), mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85), serta berbagai produ kimia (HS 38).
Ekspor batu bara, khususnya, tercatat melonjak pesat dari US$ 8,87 miliar pada kuartal II-2022 menjadi US$ 15,24 miliar kuartal selanjutnya, alias tumbuh 71,83% qtq.
Melihat data tersebut, Zulkifli optimistis situasi global yang penuh turbulensi diperkirakan masih tetap memberikan keuntungan pada harga komoditas dan menjadi ‘durian runtuh’ bagi kinerja ekspor komoditas Indonesia ke depan, termasuk hingga 2023.
“Namun demikian, Kementerian Perdagangan juga aktif melakukan diversifikasi akses pasar ekspor melalui sejumlah perjanjian perdagangan untuk tetap menjaga kinerja ekspor yang tumbuh sangat baik,” tuturnya.
Harga komoditas terus melanjutkan tajinya hingga pengujung tahun lalu. Sampai dengan kuartal terakhir 2022, kinerja ekspor kumulatif menembus US$291,98 miliar alias menukik 26,07% yoy. Pengapalan sektor nonmigas tumbuh 25,89% menjadi US$275,96 miliar.
Tidak tanggung-tanggung, berkat kinerja ekspor komoditas yang begitu moncer, surplus neraca perdagangan secara nilai pada 2022 menembus US$54,46 miliar atau tertinggi sepanjang sejarah.
(wdh)