Padahal, Asdo sebelumnya mengatakan, salah satu pertimbangan pengadaan KRL impor adalah anggaran. Dalam hal ini, terdapat beberapa manufaktur yang telah menawarkan produknya ke Indonesia namun dengan harga yang tinggi.
Alasannya, anggaran KAI Commuter saat ini masih didukung oleh pemerintah melalui penyertaan modal negara (PMN) yang bakal diberikan pada 2024 sebagai tahap pertama.
PMN tersebut, kata Asdo, pertama kali diajukan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang merupakan holding dari KAI Commuter. Nantinya, KAI bakal mengalokasikan sejumlah anggaran ke KAI Commuter sesuai dengan kebutuhan.
“Jumlahnya Rp8,65 triliun, kebutuhan capital expenditure (capex). Rp3,65 triliun pinjaman ke bank melalui loan. Dari pemerintah Rp5 triliun. Pencairannya di 2024 Rp2 triliun, 2025 Rp1,5 triliun, 2026 Rp1,5 triliun,” ujar Asdo dalam agenda Konferensi Pers Performa KAI Commuter Tahun 2023, Kamis (11/1/2024).
Adapun, saat ini KAI Commuter memang tengah berupaya dalam penambahan kapasitas angkut pengguna dan penggantian (replacement) sarana KRL yang akan diretrofit oleh PT INKA. Sarana KRL yang sudah memasuki masa peremajaan secara bertahap akan terus dilakukan penggantiannya dengan proses retrofit untuk menjaga kebutuhan operasional layanan Commuter Line Jabodetabek dengan target 1,2 juta pengguna per hari pada tahun 2025.
Dalam pemenuhan pengadaan sarana KRL ini, KAI Commuter sudah melakukan penandatanganan kerjasama pengadaan sarana KRL antara lain:
1.Pengadaan 16 rangkaian sarana KRL baru oleh PT INKA dengan total investasi hampir sebesar Rp3,83 triliun.
2. Pengadaan 19 rangkaian KRL Retrofit oleh PT INKA dengan total investasi lebih dari Rp2,23 triliun.
3. Pengadaan 3 rangkaian KRL Baru Impor oleh CRRC Sifang, China dengan total investasi sekitar Rp 783 miliar.
Seluruh pembiayaannya dari pinjaman KAI Commuter, Shareholder Loan dari PT KAI dan bantuan dari Pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN).
(dov/spt)