"Karena itu dari komisi XI DPR RI kan sebenarnya, jadi itu bukan dari pemerintah. ujug-ujug terus jadi begitu, sehingga kemarin kami putuskan ditunda, kami evaluasi dan kemudian juga ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi," tutur Luhut kala itu.
Ia juga menekankan, sikap pemerintah yang ingin menunda peraturan tersebut hanya bersifat sementara. Ia juga mempertanyakan sampai kapan penundaan tersebut akan dilakukan.
“Ya bisa saja, ditunda bisa saja. Cuma ditunda sampai kapan, kalau mereka (asosiasi) maunya di rubah ya judicial review,” ucapnya.
Selanjutnya, ia juga menanggapi langkah asosiasi dan para pengusaha yang akan melakukan judicial review UU HKPD ke MK, menurutnya hal tersebut memang harus dilakukan jika asosiasi dan pengusaha ingin aturan kenaikan pajak hiburan dibatalkan.
“Ya terserah mereka, maunya gimana, kalau maunya dibatalkan harus ke MK di uji materi. Kalau tidak ya penundan, tapi penundaannya sampai kapan itu,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) bersama dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) akan mengajukan judicial review UU HKPD No 1/2022 ke Mahkamah Konstitusi.
Asosiasi akan mengajukan judicial review UU HKPD yang di dalamnya mengatur besaran pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, klub malam, bar dan spa yang mencapai 40%—75% paling lambat 31 Januari 2024.
“Kami sedang proses, target kira-kira 31 Januari the latest sudah bisa masuk. Kecuali teman-teman [asosiasi] yang lain [berbeda tanggalnya] tidak tahu ya. Namun, kalau kami yang akan maju dari GIPI dan PHRI,” ujarnya kepada wartawan setelah bertemu Luhut di Kantor Menko Marves, Jumat (26/1/2024).
Ketua GIPI Hariyadi Sukamdani menjelaskan, asosiasi akan melakukan uji materi terhadap pasal 58 Ayat 2 UU HKPD, dengan tuntutan pembatalan pasal itu. Pasal tersebut mengatur tentang tarif PBJT atas jasa hiburan.
(azr/lav)