Secara total, pembagian AML itu telah tersebar di 36 provinsi, dengan 325 kabupaten/kota, 2.460 kecamatan, dan 12.961 desa/kelurahan.
Selain Jawa—Bali, Sumatra telah disalurkan sebanyak 61.040 (17,82%), Kalimantan 35.307 (10,30%), Sulawesi 36.648 (10,70%), Nusa Tenggara 7.459 (2,18%), Maluku 5.640 (1,65%), Papua 3.637 (1,06%).
Kementerian ESDM sebelumnya telah merencanakan untuk membagikan rice cooker sebanyak 500.000 unit kepada masyarakat, melalui Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik Bagi Rumah Tangga, dengan estimasi anggaran mencapai Rp347,5 miliar.
Dalam beleid itu, terdapat kriteria penerima bantuan yakni untuk rumah tangga yang memiliki golongan tarif listrik dengan daya 450 (empat ratus lima puluh) volt-ampere (R-l/TR), dengan daya 900 (sembilan ratus) volt-ampere dan 900 (sembilan ratus) volt-ampere RTM (R-l/TR), dan daya 1.300 (seribu tiga ratus) volt-ampere (R-l/TR).
Lalu, untuk rumah tangga yang tidak sama sekali memiliki AML, yang dibuktikan dengan validasi pejabat wilayah setingkat kepala desa/lurah setempat.
Maksud pemerintah untuk menyalurkan bantuan rice cooker gratis tersebut bertujuan untuk meningkatkan konsumsi listrik masyarakat.
Selain itu, program tersebut juga diklaim bakal mengurangi subsidi impor gas minyak cair atau liquified petroleum gas (LPG) hingga 29 juta ton atau setara 9,7 juta tabung LPG 3 kilogram.
Dinilai Tak Tepat
Namun, kalangan ekonom menilai kebijakan hibah alat masak berbasis listrik (AML) dalam bentuk rice cooker tidak akan ampuh menekan impor LPG dan menaikkan konsumsi listrik, sesuai target pemerintah.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law (Celios) Studies Bhima Yudhistira menyatakan premis ‘bagi-bagi rice cooker’ yang digunakan pemerintah sudah salah jika ditujukan untuk menekan impor LPG.
“Masalahnya, LPG 3 kg ini saja kan tidak tepat sasaran. Artinya, masalahnya ada pada distribusi yang selama ini dinikmati masyarakat menengah ke atas. Jadi kalau sumber masalahnya itu, bukan dijawab dengan bagi-bagi rice cooker,” ujarnya.
Dengan alokasi 500.000 unit rice cooker dan anggaran Rp347,5 miliar, kebijakan hibah tersebut dinilainya salah sasaran untuk mengatasi isu impor LPG, selama problem penyalahgunaan subsidi LPG 3 kg masih tetap terjadi.
“Mau dibagikan rice cooker sebanyak apa pun juga tidak ada masalah. Jadi, sepertinya kebijakan ini, kebijakan yang aneh. Konyol bahkan. Karena kalau dilihat juga, masalah yang ingin dicapai itu untuk mengurangi impor LPG juga belum tentu tercapai,” tuturnya.
Terkait dengan tujuan untuk menaikkan konsumsi listrik di tengah isu oversuplai PT PLN (Persero), Bhima juga berpendapat hal itu tidak akan terselesaikan hanya dengan program hibah penanak nasi.
Alih-alih, dampak lanjutan yang mungkin terjadi adalah penambahan beban biaya listrik bagi pelanggan yang menerima bantuan rice cooker. Belum lagi, lanjut Bhima, jika unit rice cooker hibah tersebut rusak, rumah tangga miskin harus mengeluarkan biaya tambahan baru.
Bhima pun menilai kebijakan tersebut hanya merupakan bentuk eksperimen pemerintah, yang seolah dibalut dengan program ‘bagi-bagi’, tetapi justru berisiko memunculkan beban jangka panjang baru bagi rumah tangga miskin.
(ibn/wdh)