Patokan harga tersebut bakal menjadi landasan pemerintah bila harga beras naik untuk melakukan operasi pasar melalui bantuan pangan atau penyaluran Beras Stabilisasi Pasokan Harga Pasar (SPHP).
Hulu ke Hilir
Sutarto menilai,perbaikan tata kelola pertanian bisa dilakukan dari hulu hingga hilir. Hal ini bisa ditempuh melalui berbagai cara.
Pertama, perbaikan kepemilikan lahan petani. Sebab, selama ini kepemilikan lahan petani semakin sempit, ditambah dengan adanya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian seperti untuk kebutuhan infrastruktur demi alasan investasi.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Perpadi dan pihak-pihak lainnya, terdapat pengurangan lahan untuk produksi padi di Klaten yang hilang sebanyak 45 hektare hingga 93 hektare dalam waktu satu tahun pada satu kabupaten.
“Akibatnya penyediaan produksi gabah kita otomatis makin turun, ini di aspek lahan,” ujar Sutarto.
Perbaikan kepemilikan lahan petani, kata Sutarto, tidak serta merta bisa dicapai dengan pengembangan kawasan Food Estate. Apalagi, selama ini pemerintah tidak mengembangkan Food Estate dalam kaidah yang benar.
Menurut Sutarto, pengembangan Food Estate harus dikombinasikan dengan membangun klaster untuk generasi petani modern yang berisi anak-anak muda.
Pemilihan lahan Food Estate juga harus berdasarkan pertimbangan yang matang dengan memperhatikan kecocokan lahan untuk produksi.
Sutarto menggarisbawahi pemerintah bisa menggunakan lahan yang tidak terpakai milik perusahaan swasta besar untuk mengembangkan klaster seluas 250 hektare dan melibatkan petani modern.
Pemerintah juga disebut bisa menggunakan lahan tidak produktif milik PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN.
“Milik PTPN nganggur atau lahan tidak produktif, karetnya tidak produktif karena persaingan harga karet dunia yang tidak menggembirakan, sawit saingan dengan swasta. Yang sudah kembang kempis serahkan di klaster 250—300 hektare, teknologi bisa masuk mau pake drone dan lain-lain. Berikan hak usaha kepada petani minimal 2—5 hektare,” ujarnya.
Kedua, memperhatikan dan memperbaiki aspek-aspek untuk menunjang produksi. Mulai dari pupuk, benih yang berkualitas, infrastruktur seperti saluran irigasi dan alat dan mesin pertanian (Alsintan) berupa traktor.
Selama ini, petani masih kesulitan untuk mengakses pupuk subsidi. Selain itu, percepatan perbaikan saluran irigasi harus dilakukan karena berperan penting untuk menjaga produksi padi saat musim kemarau atau fenomena iklim seperti El-Nino.
“Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat mestinya tidak perlu mundur waktu tanam karena air dijamin dari bendungan. Namun, ternyata tidak, saya baru saja ke Pantura. Ini yang sudah ada tanamannya yang sudah agak besar baru Karawang bagian barat. Pergi ke timur belum ada tanaman. Sampai Maret [diprediksi] belum panen,” ujarnya.
“Ini yang terjadi di Pantura sebagian terutama menjelang Subang, Manukan timur sampai Indramayu, Cirebon tanaman ada yang baru mengolah tanah, air baru masuk dan sebagainya,”
Selain itu, petani juga masih sulit untuk mendapatkan benih berkualitas serta kesulitan mengakses program subsidi solar untuk alat dan mesin pertanian (alsintan).
Ketiga, evaluasi kebijakan pembangunan atau investasi penggilingan padi besar perlu dilakukan karena justru dinilai menciptakan persaingan baru dengan penggilingan padi kecil.
“Usul kita, revitalisasi [penggilingan padi] yang sudah ada, yang kecil. Kemudian harus diatur, penggilingan padi besar jangan main gabah sampai beras, main beras aja. Tanpa diatur, tetap terjadi persaingan di lapangan yang menaikan harga,” ujarnya.
“Jadi HET bukan satu-satunya solusi karena dulunya persoalan muncul maka ada HET, dulu kan tidak ada HET,” pungkasnya.
(dov/wdh)