Perekonomian domestik membutuhkan gebrakan kebijakan pemerintah agar dukungan terhadap daya beli bisa menyentuh kalangan lebih luas dan berkelanjutan seperti misalnya penciptaan lapangan kerja lebih banyak.
BLT terbaru itu akan diberikan sebesar Rp200.000 per keluarga per bulan. Namun, untuk tahap pertama, penyalurannya dirapel tiga bulan dan dibayarkan di depan senilai Rp600.000 pada Februari. Ini menjadi BLT terbaru yang digelontorkan oleh pemerintah setelah akhir tahun lalu mengguyur BLT El Nino yang memakan anggaran sebesar Rp7,52 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto mengumumkan pemerintah menggelontorkan BLT untuk memitigasi risiko pangan sehingga daya beli masyarakat, terutama kelas pendapatan rendah, bisa bertahan.
Harga pangan memang melesat tajam setahun terakhir. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023, inflasi pangan mencapai 6,18%, tertinggi di antara komponen inflasi umum lain dan memberi andil 1,6% terhadap inflasi IHK. Beberapa jenis pangan di antaranya adalah beras, cabai merah, cabai rawit dan bawang putih, juga rokok kretek filter.
Harga beras, sebagai contoh, pada tahun lalu naik 17,07% di tingkat pengecer. Kenaikan tajam tahun lalu belum terlihat berhenti di awal tahun ini, bahkan semakin melesat. Beras medium, yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat, hari ini harganya sudah menembus Rp14.300-Rp14.700 per kilogram, menurut data PIHPS Bank Indonesia. Level harga itu sudah melampaui rekor harga tertinggi tahun lalu.
Berbagai tantangan itu mungkin menjadi alasan valid bagi pemerintah untuk terus menggencarkan berbagai program bansos. Akan tetapi bila berkaca pada yang terjadi pada 2023, terlihat bahwa dampak berbagai program bansos yang makin gencar jelang Pemilu 2024, berisiko terjebak sebagai resep usang karena tidak ampuh mendorong terciptanya permintaan baru di perekonomian yang bisa mendongkrak pertumbuhan.
Sebagai gambaran, dalam APBN 2023 dari data yang sama, anggaran Perlinsos -termasuk subsidi BBM, listrik dan berbagai bansos, dianggarkan Rp439,1 triliun. Sementara dalam pernyataan hari ini, Selasa (30/1/2024), Menteri Keuangan menyebut anggaran Perlinsos dalam APBN 2023 sudah terealisasi Rp476 triliun, lalu anggarannya dinaikkan Rp20 triliun pada 2024 menjadi Rp496 triliun, hampir mendekati rekor tertinggi sepanjang sejarah republik yang pecah pada saat pandemi Covid-19 lalu di angka Rp498 triliun.
Anggaran Perlinsos pada 2023 disalurkan dalam bentuk program bansos mulai dari BLT El Nino, Program Keluarga Harapan, bansos sembako, senilai total Rp80,1 triliun. Sementara sisanya disalurkan terbanyak untuk subsidi rutin seperti subsidi BBM, listrik dan kredit usaha rakyat sebesar Rp130,9 triliun, juga ada bantuan pangan dan BLT desa.
Namun, dengan pembelanjaan anggaran super besar, daya beli masyarakat masih belum terangkat. Dalam periode itu, inflasi inti, yang menjadi salah satu ukuran kekuatan daya beli dalam perekonomian, terus tertekan hingga menyentuh level terendah dalam dua tahun di angka 1,8% pada Desember lalu.
Lapangan kerja kurang
Dampak bansos terlihat masih terbatas dalam mengungkit permintaan, terindikasi dari kinerja penjualan ritel yang terus melemah. Pada Desember, penjualan ritel diprediksi hanya tumbuh 0,1% dan diperkirakan melanjutkan tren pelemahan hingga tiga dan enam bulan ke depan, berdasarkan hasil survei penjualan ritel oleh Bank Indonesia yang terakhir dirilis.
Bansos yang semakin gencar sejak September lalu, sejauh ini baru berdampak menahan daya beli kelompok ekonomi terbawah supaya tidak semakin amblas. Pada saat yang sama, kelompok menengah yang belum cukup miskin untuk mendapatkan bansos, kondisinya lebih runyam dengan kondisi keuangan memburuk dan kekuatan konsumsi melemah.
Ini terlihat dari hasil survei konsumen terakhir yang dirilis oleh Bank Indonesia. Indeks Keyakinan Konsumen pada Desember tercatat hanya tumbuh positif di kelompok pengeluaran terbawah Rp1 juta-Rp2 juta dengan kenaikan 4,3 poin, sementara empat kelompok pengeluaran lain di atas Rp2 juta mencatat penurunan, terutama kelompok pengeluaran menengah Rp3,1 juta-Rp4 juta.
Kelompok pendapatan bawah mencatat kenaikan indeks di hampir semua indikator, mulai dari Indeks Penghasilan Saat Ini dan Ketersediaan Lapangan Kerja (yang menjadi komponen Indeks Ekonomi Saat Ini), juga kenaikan Indeks Ekspektasi Konsumen yang mengukur keyakinan masyarakat terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan. Kelompok bawah hanya mencatat kontraksi atau penurunan pada Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja.
Sebaliknya terjadi di kelompok menengah dan kelompok di atasnya. Hampir semua indikator mencatat penurunan terutama Indeks Kondisi Ekonomi yang turun di semua kelompok pengeluaran Rp2,1 juta ke atas. Sementara Indeks Ekspektasi Ekonomi turun terdalam di kelompok pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta. Kelompok ini juga yang paling pesimistis terhadap prospek penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja ke depan.
Mayoritas kelompok pengeluaran mencatat tren penurunan alokasi pendapatan untuk konsumsi, terutama dialami oleh kelompok menengah tingkat pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta dan kelompok pengeluaran di atas Rp5 juta. Pendapatan masyarakat Indonesia semakin banyak yang tersedot untuk cicilan dan sebagian untuk tabungan.
Upaya membantu daya beli melalui pemberian bansos itu juga terlihat seperti memadamkan kebakaran dengan kain basah alih-alih mengguyur dengan air memadai supaya apinya padam, kata Ekonom INDEF Esther Sri Astuti memberikan analogi.
“Kenapa saya katakan belum efektif karena bansos ini hanya sementara saja dan bentuk kucuran bansos pun itu tidak terlalu signifikan nilainya,” kata Esther.
Dampak bansos hanya sementara, tidak berkelanjutan dan terjebak jadi solusi jangka pendek yang rentan diboncengi muatan politis, terlebih mendekati hajat Pemilu. Selain itu, bansos juga tidak menyentuh akar persoalan lebih luas yang bisa berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Penciptaan lapangan kerja, sebagai contoh, masih minim sehingga harapan akan pertumbuhan daya beli disangsikan.
Investasi sejauh ini hanya menciptakan 1,8 juta lapangan kerja, menurut data yang terakhir dilansir oleh Kementerian Investasi. Saat ini masih ada sekitar 20 juta orang di Indonesia belum memiliki pekerjaan dan belum bekerja secara layak. Pemerintah mengklaim tingkat pengangguran menurun menjadi 7,89 juta orang.
Namun, bila angka setengah pengangguran dihitung, yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan tambahan atau pekerjaan lebih layak, angkanya semakin besar dari tahun ke tahun. Per Agustus 2023, total jumlah penganggur terbuka dan setengah penganggur mencapai 17,2 juta orang. Jumlah itu lebih besar dibandingkan posisi Agustus 2022 yang mencapai 16,69 juta orang.
Kita melihat semua sinkron bahwa higher for longer [bunga tinggi dalam waktu lebih lama di ranah ekonomi global maupun domestik] dampaknya baru akan terasa tahun ini yang mengerem pertumbuhan. Jadi, by design perekonomian akan melemah. Kami tetap pada proyeksi APBN 2024, pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,2%.
Sri Mulyani Indarwati, Menteri Keuangan RI
Survei terakhir yang dilansir oleh Bank Indonesia mencatat, penyerapan tenaga kerja pada kuartal IV-2023 menurun menjadi 1,12% dari 3,76% pada kuartal sebelumnya. Walau pada kuartal 1-2024 diprediksi ada kenaikan penyerapan tenaga kerja, akan tetapi menimbang ekspansi yang masih tertahan dari pelaku usaha akibat permintaan yang lesu dan sikap cenderung wait and see jelang Pemilu 2024, laju penyerapan tenaga kerja mungkin masih belum kencang.
Sri Mulyani menyatakan, APBN berperan sebagai peredam guncangan (shock absorber) untuk mendukung capaian pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan ekonomi global yang masih besar.
"Kita melihat semua sinkron bahwa higher for longer [bunga tinggi dalam waktu lebih lama di ranah ekonomi global maupun domestik] dampaknya baru akan terasa tahun ini yang mengerem pertumbuhan. Jadi, by design perekonomian akan melemah. Kami tetap pada proyeksi APBN 2024, pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,2%," kata Bendahara Negara.
Bank Dunia dalam kajian terbaru yang dirilis beberapa pekan lalu memperkirakan Indonesia hanya akan tumbuh 4,9%, melambat dari 2023 dan masih akan stagnan pada 2025 dengan proyeksi pertumbuhan sama di 4,9%.
-- dengan bantuan Azzura Yumna Ramadani
(rui/roy)