Adapun, untuk beras, HPP dipatok sejumlah Rp8.300/kg di gudang Bulog tanpa membedakan jenis beras yang diserap.
"HPP seharusnya mengikuti HET, harganya tidak mengacu pada satu kualitas beras saja, yakni beras medium. Kalau tidak disesuaikan ini margin pengusaha penggilingan menjadi tipis dan akhirnya yang ditekan harganya di tingkat petani," katanya ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz, Jumat (10/3/2023).
Menurut Khudori, HPP yang berlaku saat ini membuat Bulog kesulitan untuk menyerap hasil panen para petani. Adanya fleksibilitas harga pembelian yang akan ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) dinilai tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah tersebut.
Bahkan, ada potensi masalah baru yang ditimbulkan oleh fleksibilitas harga pembelian itu apabila pengawasan tidak dilakukan secara ketat.
"Fleksibilitas ini membuka peluang penyimpangan harga di rentang yang nantinya ditetapkan. Siapa yang memastikan kalau harga pembelian yang tertulis di kertas sama dengan harga pembelian aslinya? Selisihnya lari kemana-mana," tuturnya.
Terpisah, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menyatakan instansinya akan segera menerbitkan regulasi harga acuan pembelian gabah dan beras terbaru, guna memberikan ruang yang lebih leluasa bagi Bulog dalam menyerap produksi dalam negeri.
"Semoga hasilnya dapat segera direalisasikan. Bulog kami berikan fleksibilitas harga dan bisa serap beras komersial dari petani," katanya kepada Bloomberg Technoz, Jumat (10/3/2023).
Arief belum bisa mendetailkan lebih lanjut mengenai besaran harga acuan pembelian gabah dan beras terbaru. Namun, dia memastikan harga acuan tersebut dirumuskan berdasarkan usulan dari perwakilan asosiasi atau organisasi petani serta kementerian atau lembaga terkait.
Dengan demikian, gabah atau beras dari petani diserap dengan harga yang sesuai atau tidak terlampau rendah atau merugikan petani. Terlebih, selama ini petani mengeluhkan HPP yang dinilai tidak lagi relevan lantaran komponen biaya produksi yang terus membengkak.
(rez/wdh)