Logo Bloomberg Technoz

Prototipe solid-state tersebut dikerjakan oleh mitra VW di Amerika Serikat (AS), QuantumScape Corp. Hasil pengujian, yang dilakukan di laboratorium PowerCo di Jerman, pertama kali diungkapkan oleh QuantumScape selama laporan pendapatan kuartal ketiga perusahaan pada Oktober. 

Ilustrasi pabrik baterai. (Dok: Bloomberg)

Selama pengujian oleh unit baterai VW PowerCo selama beberapa bulan, sel tersebut hanya mengalami kehilangan kapasitas penyimpanan sebesar 5% setelah lebih dari 1.000 siklus pengisian daya, setara dengan 500.000 kilometer di jalan.

VW mengatakan target industri pada fase pengembangan ini adalah 700 siklus pengisian daya dan hilangnya kapasitas maksimum 20%.

“Ini adalah hasil yang sangat menggembirakan,” kata kepala PowerCo Frank Blome, dikutip Bloomberg. “Hasil akhir dari pengembangan ini adalah sel baterai yang mampu digunakan dalam jarak jauh, dapat diisi daya dengan sangat cepat, dan praktis tidak menua.”

QuantumScape ingin memasarkan sel “secepat mungkin,” kata pendiri dan Chief Executive Officer Jagdeep Singh. Namun, dia meningkatkan produksi baterai kelas otomotif terbukti sulit.

Di Asia, Toyota juga telah bermitra dengan perusahaan penyulingan minyak dan petrokimia Idemitsu Kosan Co untuk mengkomersialkan baterai solid-state segera setelah 2027, sementara anak perusahaan pembuat kendaraan listrik China, BYD Co, sedang membangun fasilitas baterai natrium-ion sebagai bagian dari usaha patungan di wilayah timur China.

Tren harga baterai lithium-ion terus turun. (Dok: Bloomberg)


Baterai Garam

Selain baterai solid-state, penelitian dan pengembangan baterai berbasis senyawa garam atau sodium juga sedang digadang-gadang berpotensi menggeser popularitas litium, yang sampai sekarang masih menjadi bahan utama paling banyak dipakai untuk penyimpanan energi dalam baterai EV.

Terlebih, sodium cenderung lebih mudah ditemukan jika ingin digunakan sebagai bahan baku baterai listrik. Tidak hanya itu, baterai berbahan baku senyawa garam ini memiliki harga yang lebih ekonomis dibandingkan dengan baterai litium yang juga membutuhkan mineral logam lain seperti kobalt dan nikel.

Akan tetapi, sodium diklaim memiliki kepadatan sel (battery cell) – yang digunakan untuk menyimpan energi – jauh lebih rendah dibandingkan dengan litium.

Rata-rata sel sodium yang digunakan untuk baterai memiliki 5.000 siklus, atau masih cukup rendah dibandingkan dengan litium dengan sekitar 7.500 siklus untuk produk yang paling 'hemat biaya'.

Lantas, bagaimana kelebihan dan kekurangan baterai litium-ion dibandingkan dengan sodium-ion?

Sejak mulai digunakan lebih dari 3 dekade lalu, baterai litium memang memiliki kinerja yang baik dalam menyimpan energi.

Baterai Litium menggunakan material anoda, yang terbukti memiliki kepadatan energi yang lebih tinggi, yang bisa memengaruhi kapasitas dan kestabilan baterai dibandingkan dengan baterai sejenis lainnya.

Penggunaan LFP untuk baterai kendaraan listrik makin populer./dok. Bloomberg


Baterai litium-ion juga cenderung memiliki umur siklus hidup yang lebih panjang dibandingkan dengan jenis baterai lainnya. Siklus hidup baterai ini mengacu pada beberapa kali baterai dapat diisi ulang hingga memengaruhi penurunan kapasitas.

Kelemahan 

Namun, baterai litium ini juga memiliki beberapa kekurangan. Kekurang itu di antaranya yakni elektrolit yang digunakan sangat mudah terbakar. Jika terlalu panas, kemungkinan besar bisa menyebabkan kebakaran skala kecil.

Lalu, perlindungan baterai. Baterai litium relatif kurang kuat dibandingkan dengan baterai isi ulang lainnya. Dengan demikian, litium membutuhkan perlindungan dari pengisian daya yang berlebihan, panas berlebih, dan pengosongan total.

Litium juga membutuhkan sirkuit pelindung untuk menjaga arus dan tegangan dalam standar dan batas yang aman.

Baterai litium juga cenderung berbiaya tinggi lantaran ongkos produksi dan bahan bakunya juga mahal, yang harus diekstraksi dari pertambangan mineral.

Sekadar catatan, pada November tahun lalu, Northvolt AB dari Swedia mengatakan telah membuat terobosan dalam teknologi ini, sedangkan pembuat kendaraan listrik asal China, BYD Co, juga menandatangani kesepakatan untuk membangun pabrik baterai sodium-ion senilai US$1,4 miliar.

Raksasa baterai China, CATL Co Ltd, pun telah mengatakan pada April bahwa baterai berbasis natrium atau senyawa garam akan mulai digunakan di beberapa kendaraan tahun ini.

“Ini adalah investasi yang serius. Hal ini meningkatkan kepercayaan diri mereka dengan mengatakan bahwa kami berada di sini untuk terus meningkatkan kapasitas guna mengkomersialkan teknologi ini,” kata Rory McNulty, analis riset senior di Benchmark Mineral Intelligence.

Jika produk natrium terbukti berhasil, baterai sodium-ion dapat membatasi konsumsi litium. Hal ini juga merupakan pengingat akan bahayanya upaya memperkirakan penggunaan logam dalam industri yang terus berkembang karena perusahaan mencari sel yang lebih murah dan efisien.

Riset BloombergNEF mengatakan natrium akan mengurangi sekitar 272.000 ton permintaan litium pada 2035, atau lebih dari 1 juta ton jika pasokan litium tidak dapat memenuhi penggunaan.

“Perubahan pada campuran logam dalam baterai telah mengubah prospek penawaran dan permintaan serta menurunkan harga [komoditas logam]. Kobalt dan nikel – yang beberapa tahun lalu terlihat menghadapi kekurangan jangka panjang – perkiraan permintaannya direvisi karena munculnya sel-sel yang tidak menggunakannya. Dan potensi perubahan harga yang besar terutama terlihat pada litium,” papar riset itu, akhir tahun lalu.

(wdh)

No more pages