Sejumlah saham mencatat kenaikan luar biasa dan menjadi top gainers. Di antaranya adalah PT Mitra Pack Tbk (PTMP) yang melonjak 24,5%, PT Fortune Indonesia Tbk (FORU) dan PT Bank Mayapada Tbk (MAYA) melesat masing-masing 16,7% dan 13,4 serta PT Jakarta Setiabudi Internasional Tbk (JSPT) bertambah 12,5%.
Sejumlah saham yang melemah dan menjadi top losers di antaranya PT Superkrane Mitra Utama Tbk (SKRN) yang anjlok 13%, PT Ikapharmindo Putramas Tbk (IKPM) jatuh 12,7%, dan PT MNC Sky Vision Tbk (MSKY) ambruk 11,8%.
IHSG bergabung dari sekian Bursa Asia yang menetap di zona merah, indeks Hang Seng (Hong Kong), Topix (Jepang), Nikkei 225 (Jepang), Shenzhen Comp. (China), SETI (Thailand), dan juga TW Weighted Index (Taiwan), yang melemah masing-masing 1,6%, 1,35%, 1,34%, 0,71%, 0,58%, dan 0,04%.
Sementara itu, Bursa Saham Asia lainnya parkir di zona hijau i.a Straits Times (Singapura), Kospi (Korea Selatan), dan KLCI (Malaysia), ang menguat masing-masing 0,38%, 0,33%, dan 0,14%.
Dengan demikian, IHSG adalah indeks dengan pelemahan terdalam kelima di Asia, ada di antara deretan indeks saham China dan Jepang.
Bursa Saham Asia dan IHSG gagal memanfaatkan momentum penguatan di Bursa Saham Amerika Serikat. Dini hari tadi waktu Indonesia, tiga indeks utama di Wall Street kompak ditutup menghijau.
Dow Jones Industrial Average, S&P 500, dan Nasdaq Composite yang masing-masing naik 0,64%, 0,53%, dan 0,18%.
Adapun, Ekuitas di Wall Street melaju di fase Bullish karena berhasil mencetak kenaikan selama enam hari berturut-turut, data ekonomi AS terbaru yang bertentangan dengan perkiraan resesi, memperkuat prospek berbagai perusahaan yang tengah ekspansi.
“Tidak ada kekhawatiran resesi di sini, dan yang lebih baik lagi, kami tidak melihat adanya ledakan pertumbuhan harga yang digunakan dalam perhitungan PDB (Produk Domestik Bruto),” kata Charles Hepworth, Direktur Investasi di GAM Investments, seperti yang diwartakan oleh Bloomberg News.
“Pertumbuhan yang lebih kuat tanpa inflasi adalah hal yang diinginkan semua orang,” jelasnya.
Seperti yang diwartakan Bloomberg News, AS telah semakin jauh mengungguli China dalam persaingan menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia dunia. Hal ini sebagian dipengaruhi oleh semangat dari para konsumen (AS.
Produk domestik bruto (PDB) AS naik 6,3% secara nominal – tanpa disesuaikan dengan inflasi – tahun lalu, melampaui pertumbuhan 4,6% yang dicapai China.
"Ini adalah perubahan nasib yang mencolok," kata Eswar Prasad, yang pernah memimpin tim China di International Monetary Fund dan sekarang di Universitas Cornell.
Awalnya semua tidak diperkirakan akan seperti ini. Pada awal tahun lalu, 2023, AS diperkirakan akan jatuh ke dalam jurang resesi imbas Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuan untuk memerangi momok inflasi yang belum pernah terlihat dalam beberapa dekade.
Sebaliknya, China diperkirakan akan mengalami pemulihan yang pesat karena negara tersebut sepenuhnya membuka kembali ekonominya untuk perdagangan setelah lockdown yang ketat selama pandemi Covid-19.
Namun, bukan itu yang terjadi secara kenyataan. Data PDB yang dirilis pada Kamis menunjukkan ekonomi AS mengakhiri tahun dengan kuat, tumbuh 3,3% secara riil, disesuaikan dengan inflasi pada kuartal keempat setelah tumbuh 4,9% pada kuartal ketiga. Sementara inflasi sedang dalam perjalanan kembali ke target The Fed sebesar 2% dan kekhawatiran akan resesi memudar.
(fad/wdh)