Ketika itu, nilai cadangan devisa sudah terkuras sekitar US$12,05 miliar, bila menghitung dari posisi tertinggi cadangan devisa pada Maret 2023 di US$145,18 miliar. Di akhir Oktober, posisi cadangan devisa tinggal US$133,13 miliar. Sementara bila menghitung selama Oktober saja, penurunan cadangan devisa mencapai US$1,71 miliar.
Penurunan yang signifikan itu akhirnya membuat BI menaikkan bunga acuan ke posisi 6%, mengejutkan pasar. Namun, langkah itu berhasil meredam tekanan pada rupiah sehingga di akhir tahun rupiah berhasil ditutup menguat di Rp15.397/US$.
Kini, posisi cadangan devisa per Desember 2023 cukup berlimpah sebesar US$146,4 miliar, posisi tertinggi sejak September 2021. Kenaikan mencapai US$8,29 miliar dalam sebulan menjadi kenaikan bulanan terbesar dalam lebih dari satu dekade terakhir. Alhasil, dalam dua bulan berturut-turut, kenaikan cadangan devisa mencapai US$13,25 miliar.
Dalam pernyataannya, BI menyebut posisi cadangan devisa Desember, masih berada di atas standar kecukupan internasional.
"Setara dengan pembiayaan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," kata Erwin Haryono, Asisten Gubernur Bank Indonesia dalam pernyataan resmi, awal Januari lalu.
Dengan cadangan devisa masih melimpah, BI berada dalam posisi yang cukup leluasa menahan tekanan yang dialami oleh rupiah saat ini.
Dua hari ini terakhir BI menyatakan masih berjaga di pasar menahan tekanan rupiah. Bukan hanya di pasar spot valas, tapi juga di pasar forward domestik (DNDF) dan pasar obligasi.
"BI ada di pasar untuk memastikan keseimbangan permintaan dan penawaran valas tetap terjaga. Pelemahan rupiah masih terkendali," kata Edi Susianto, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Kamis kemarin.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pernyataan terakhir di konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur pekan lalu menyatakan, tren rupiah tahun sejatinya menguat seiring ketidakpastian global yang sudah mereda.
"Kami melihat penguatan dolar AS itu sudah terhenti, jadi ada kecenderungan [dolar AS] melemah meski masih ada ketidakpastian timing dan magnitude terkait kapan penurunan bunga global sehingga pasar masih volatile, akan tetapi kami perkirakan rupiah hanya naik turun dalam jangka pendek dengan tren ke depan menguat," kata Perry.
Sampai posisi penutupan kemarin di pasar spot, rupiah sudah kehilangan 2,77% nilainya selama 2024.
Bila tekanan berlanjut
Kini rupiah mengalami deja vu tekanan besar seperti Oktober silam, bahkan ketika dolar AS sudah relatif lebih lemah dibanding tahun lalu seiring sinyal penurunan bunga AS yang menguat. Sebagai perbandingan, indeks dolar AS pada Oktober 2023 sempat di 107 dan saat ini sudah lebih rendah di 103,49.
Berbeda dengan sentimen bunga global yang relatif masih memilih ukuran-ukuran untuk melihat kedalaman dan batas dampaknya pada valuta, isu mundur menteri dan keretakan kabinet pemerintahan tidak memiliki ukuran-ukuran itu sehingga sulit diterka akan sejauh apa dampaknya sehingga memicu aksi panic selling.
Isu mundur posisi menteri yang sangat krusial bagi pasar, belum sepenuhnya mereda bahkan ketika Sri Mulyani pekan lalu merespon pertanyaan para jurnalis dengan senyum tipis dan kalimat singkat, "Saya masih bekerja," kata Sri usai rapat kabinet di Istana, Jumat (19/1/2024).
Spekulasi Sri Mulyani mundur muncul dari pernyataan ekonom Senior INDEF Faisal Basri yang menyebut Sri Mulyani paling siap mundur di antara beberapa menteri yang juga disebut akan mundur.
Setelah sedikit mereda dengan pernyataan singkat SMI di Istana, spekulasi kembali kencang pasca Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, yang juga berlaga sebagai calon wakil presiden dalam kontestasi Pilpres 2024, memberi pernyataan ia berniat mundur pada saat yang tepat, Selasa malam kemarin.
Di mata analis, menteri keuangan yang dikabarkan mundur dari sebuah negara, tentu akan membuat gelisah pelaku pasar. Terlebih bila sosok menteri itu selama ini disukai oleh pasar. "Saya mengerti bila banyak orang ingin segera keluar [dari pasar] ketika ada sinyal buruk muncul," kata Mingze Wu, Currency Trader di Stonex, Singapura, seperti dilansir Bloomberg News.
Ia menilai, komunikasi pemerintah Indonesia ke pasar terkait isu ini tidak cukup bagus bila dibandingkan negara-negara maju. Menurutnya, bisa saja isu tersebut sekadar akrobat politik sehingga ada harapan rupiah setelah itu bisa kembali ke kisaran kuat. Namun, bila pasar melihat ada pertanda yang semakin buruk, rupiah bisa kian tertekan lebih lemah.
Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia Yusuf Rendy, menilai, jika Sri Mulyani memutuskan mundur dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan, sentimen negatif dalam jangka pendek akan muncul dari pasar.
Sementara dalam jangka menengah-panjang, ekonom menilai sentimen akan ditentukan siapa sosok yang menggantikan posisi tersebut. "Tergantung dari siapa yang akan menggantikan dan bagaimana track record dari menggantikan posisi Menteri Keuangan saat ini," kata Yusuf.
-- dengan bantuan Azzura Yumna R. Purnama dan Mis Fransiska Dewi
(rui)