Insentif bagi CPO
Menurut Faisal, program biodiesel, jika dijalankan tepat sasaran, dapat menjadi insentif bagi CPO yang saat ini tengah mengalami tren pelemahan harga di level internasional. “Ini semestinya merupakan insentif untuk memanfaatkan biodiesel di dalam negeri daripada mengekspor keluar.”
Harga CPO turun pada perdagangan awal pekan ini, setelah naik 2 hari berturut-turut. Pada Senin, harga CPO di Bursa Malaysia ditutup di MYR 3.904/ton, turun 0,89% dibandingkan dengan akhir pekan lalu.
Sebelumnya, harga CPO sempat naik 2 hari beruntun. Selama 2 hari tersebut, harga terangkat 3,25%. Dalam sepekan terakhir, harga CPO naik 2,25% secara point-to-point. Selama sebulan ke belakang, harga bertambah 3,75%.
Faisal mengatakan harga CPO yang lebih lemah ini semestinya bisa menekan harga bauran biodiesel.
“Tetapi tentu saja kita tidak berharap harga [tandan buah segar] TBS-nya jatuh, karena mestinya tetap dipertahankan kompetitif, terutama pada tingkat petani untuk memberikan motivasi bagi petani untuk terus berproduksi,” kata Faisal.
Membuat Biodiesel Lebih Murah
Lebih lanjut, Faisal mengelaborasi tantangan terbesar dalam program biofuel di Indonesia adalah bagaimana membuat harganya tidak terlampau mahal jika dibandingkan dengan BBM.
Untuk itu, dia menilai diperlukan koordinasi dan sistem insentif-disinsentif yang lebih harmonis di tingkat pemerintah agar harga biodiesel bisa lebih kompetitif tanpa menekan harga TBS di tingkat petani.
“Ini juga harus dibenahi masalah standar biodiesel yang belum Euro 4. Ke depan, cepat atau lambat, kita akan mengarah pada standar Euro yang lebih tinggi. Sekarang masih banyak yang pakai Euro 2, padahal semestinya kita sudah masuk Euro 4.”
Faisal, bagaimanapun, memperingatkan agar upaya menaikkan standar emisi bahan bakar tidak dilakukan secara drastis, seperti buru-buru mengejar standar Euro 6.
Sebab, peralihan yang terlalu cepat tanpa mempertimbangkan kesiapan hanya akan merugikan pelaku industri yang mengembangkan kendaraan berbasis biodiesel yang untuk saat ini baru didorong untuk memenuhi standar Euro 4.
“Jadi berikan waktu untuk transisi ini. Apalagi, kita punya keunggulan dari sisi produksi sawit yang banyak. Jadi itu satu yang bisa dijadikan keunggulan komparatif dibandingkan dengan pengembangan biodiesel di negara lain,” tutur Faisal.
Bioetanol Masih Sulit
Faisal menilai jalan Indonesia untuk mengembangkan biofuel selain yang berbasis minyak sawit masih sangat menantang. Termasuk dalam memproduksi bioetanol berbasis tetes tebu dalam jumlah massal.
Bioetanol, lanjutnya, berbeda dengan biodiesel yang bahan bakunya melimpah ruah. “Bioetanol kita butuh produksi tebu, sementara kita tahu sekarang ini dari sisi produksi jelas tebu berbeda dengan sawit.”
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula saja, lanjutnya, Indonesia masih harus mengimpor. Indonesia saat ini menjadi importir gula terbesar ketiga dunia, tetapi produsen sawit nomor wahid dengan kecenderungan surplus di hulu.
“Kalau tidak disinergikan, tentu saja ini berpotensi bisa mengerek harga untuk transisi energi. Harga biofuel bisa menjadi lebih mahal. Kalau [mandatori biofuel] konsisten diberlakukan, ke depan ini akan memotivasi inovasi-inovasi dalam hal teknologi yang mendorong penurunan atau pemangkasan harga yang lebih jauh.”
Perkiraan Konsumsi
Indonesia, sebagai negara penanam sawit terbesar di dunia, memperkirakan konsumsi program mandatori solar berbasis minyak sawit atau B35 sebanyak 12,5 juta kiloliter (kl) pada 2024.
"Di 2023, [konsumsi biodiesel] sudah mencapai 12,2 juta kl, dan ditargetkan 12,5 juta kl pada 2024," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam konferensi pers capaian kinerja 2023, medio bulan ini.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, sejak diberlakukannya mandatori B35 pada 2023 – konsumsi biodiesel domestik terbilang naik cukup signifikan mencapai 12,2 juta kl, atau melesat sebanyak 114,5% dari target yang sebanyak 10,65 juta kl.
Program B35 tersebut mengamanatkan 35% biodiesel berbasis kelapa sawit untuk dicampur dalam bensin solar yang dijual di pasar domestik.
Arifin mengatakan, dengan diterapkannya mandatori B35 juga dapat menghemat devisa sebesar US$7,9 miliar atau setara dengan Rp120,5 triliun.
"Kemudian peningkatan nilai tambah CPO menjadi biodiesel sebesar Rp15,82 triliun dan adanya partisipasi 11 ribu orang tenaga kerja off-farm dan juga 1,5 juta orang yang on-farm," ujar dia.
Indonesia sendiri memang telah mewajibkan pencampuran biodiesel sejak 2014 dari 10% (B10), menjadi 15% (B15) pada 2015, 20% (B20) pada 2016, dan 30% (B30) pada 2020, sebelum akhirnya menjadi 35% (B35) pada 2023, sejalan dengan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Adapun pada tahun ini, Kementerian ESDM sendiri juga telah menetapkan kuota biodiesel sebanyak 13,4 juta kl.
(wdh)